Nusantara merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatera sampai Papua, yang sekarang sebagian besar merupakan wilayah negara Indonesia.
Kata ini tercatat pertama kali dalam literatur berbahasa Jawa Pertengahan (abad ke-12 hingga ke-16) untuk menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut Majapahit.
Setelah sempat terlupakan, pada awal abad ke-20 istilah ini dihidupkan kembali oleh Ki Hajar Dewantara[1]sebagai salah satu nama alternatif untuk negara merdeka pelanjut Hindia Belanda yang belum terwujud.
Ketika penggunaan nama "Indonesia" (berarti Kepulauan Hindia) disetujui untuk dipakai untuk ide itu, kata Nusantara tetap dipakai sebagai sinonim untuk kepulauan Indonesia. Pengertian ini sampai sekarang dipakai di Indonesia. Akibat perkembangan politik selanjutnya, istilah ini kemudian dipakai pula untuk menggambarkan kesatuan geografi-antropologi kepulauan yang terletak di antara benua Asia dan Australia, termasuk Semenanjung Malaya namun biasanya tidak mencakup Filipina.
Dalam pengertian terakhir ini, Nusantara merupakan padanan bagi Kepulauan Melayu (Malay Archipelago), suatu istilah yang populer pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, terutama dalam literatur berbahasa Inggris.
Demikian wikipedia menjelaskan dalam https://id.m.wikipedia.org/wiki/Nusantara
Pada buku sekolahan, reportase televisi, radio, media cetak, portal bahkan media sosial nyaris tak pernah ditemukan lagi kalimat ungkapan "Zamrud di Katulistiwa" sebagai marka yang mengarah kepada Indonesia atau Nusantara.
Beginilah adanya nusantara yang belakangan ini mendapat lebel atau cap "NKRI Harga Mati". Perjalanan Zamrud di Katulistiwa yang pernah ditemukan pedagang rempah Portugis dan Parsi kemudian 350 tahun dieksploatasi Belanda lewat hegemoni VOC sungguh bagaikan rangkaian kisah Super Kolosal.
Diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta tanggal 17 Agustus 1945 Zamrud di Katulistiwa ini membentangkan jembatan emas menuju cita cita luhur bangsanya untuk hidup dan berkehidupan sejahtera, adil dan makmur berpedoman kepada nilai nilai Pancasila.
Soekarno lantas menjadi presiden sampai 1966. Fase kepemimpinan Soekarno diberi lebel oleh publik sebagai Orde Lama sebab sejak 1966 berkuasa Soeharto dengan lebel Orde Baru sampai akhirnya tahun 1998 Soeharto turun panggung digantikan oleh sebuah masa dan massa bernama Reformasi.
Demokrasi sebagai Panglima yang mengatur hidup dan berkehidupan di atas jembatan emas yang mulai terbentang sejak 17 Agustus 1945 ini setiap fase kekuasaan terus diperbaharui modernitasnya. Terkait Pancasila sebagai pedoman tentu tiap fase memandang, menafsirkan dan melaksanakan dengan frame berbeda pula.
JW School menyatakan modernisasi adalah suatu transformasi; dalam konteks ini dimaksudkan modernisasi perangkat demokrasi sebagai penjabaran nilai nilai luhur Pancasila. Efeknya tentu bermunculan berbagai prilaku demokrasi serta prilaku politik baik individu maupun kelembagaan dalam mengambil dan memberi peran terhadap ritme modernisasi demokrasi.
Kata reformasi yang berasal dari bahasa asing setitik nafas mencerminkan keinginan bangsa di nusantara ini untuk memodernisasi demokrasinya. Soal proses dan hasil tiap etappe dari rangkaian reformasi ini sangat bergantung dari apa yang kita sebutkan tadi sebagai prilaku demokrasi dan prilaku politik karena acuan tetap sama yakni Pancasila akan tetapi ada keinginan modernisasi yang menjurus kepada perubahan masyarakat dalam segala aspek sebagaimana dimaksudkan JW School.
Hal ini dipertegas Wilbert E Moore bahwa modernisasi adalah suatu transformasi total kehidupan bersama dari tradisionalitas atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial ke arah pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri negara barat yang stabil.
Nah, cocok atau sesuaikah jika patron modernisasi demokrasi nusantara ini berkiblat ke barat?
Melihat realita saat ini salah satunya prilaku politik dalam memanfaatkan amanat UUD 1945 terkait kebebasan menyampaikan pendapat di depan publik meski tidak persis tapi tak dapat disangkal adalah sebagai sikap plagiat dunia barat.
Betapa saat ini dengan mudah "menyerang" kelembagaan Kepresidenan, lembaga tinggi negara, institusi, apalagi antar individu dengan modal "kebebasan berpendapat". Media publik formal dan media sosial menjadi alat ampuh untuk menyalurkan prilaku baru di nusantara ini.
Pancasila terbukti berkali kali dalam perjalanan bangsa dan negara ini mampu menyelamatkan Zamrud di Katulistiwa.
Saatnya memang untuk totalitas mempedomani Pancasila. Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 dengan hanya dua pasang Capres/Cawapres setidaknya menjadi referensi betapa Konsensus Nasional sebagai konsekuensi pengamalan Pancasila menjadi sangat penting, baik untuk modernisasi demokrasi apalagi kembali ke khittah jembatan emas 17 Agustus 1945.
Sesungguhnya masyarakat adil dan makmur sudah ada dalam Pancasila, tugas para pejuang nusantara inilah untuk memindahkannya dalam kehidupan sehari hari.
Pancasila menyayangi semua tanpa pengecualian, mayoritas minoritas, fisik sempurna maupun disabilitas, lelaki dan perempuan. Semua ras, suku dan agama sejuk dan damai dalam bingkai Pancasila.
Ayo! Kembali ke khittah nusantara dalam jembatan emas yang sudah dibentang sejak 17 Agustus 1945. *Nurkarim Nehe,SE,MSP.
*Penulis wartawan Kompetensi Utama 2013, Kabiro Waspada di Kisaran, dosen mata kuliah umum (Etika Profesi, Pengetahuan Bisnis, Prilaku Organisasi, Kewirausahaan...) pada STMIK Royal Kisaran.