Kontektualisasi Jihad Untuk Indonesia

Kontektualisasi Jihad Untuk Indonesia

Kontektualisasi Jihad Untuk Indonesia

Oleh Azhari Akmal Tarigan

Dalam konteks Indonesia, khusus bagi umat Islam, kemajuan dan kejayaan tidak akan pernah dicapai sepanjang belum mengaktualisasikan doktrin jihad di dalam diri masing-masing

Adalah tepat jika dalam merayakan hari ulang tahunnya yang ke 69, Harian Waspada mengangkat tema seminar, Memaknai Jihad Kontemporer. Tidak tanggung-tanggung, untuk membahas tema yang sesungguhnya serius ini, Waspada mengundang Prof Dr Din Syamsuddin -salah satu tokoh atau cendikiawan Muslim Indonesia yang pendapatnya masih di dengar dunia terutama dalam mengatasi problema dunia khususnya dunia Islam. Harapan kita tentu saja, kehadarian Prof Din ke Medan dapat memberikan pencerahan dan tentu saja solusi konkrit bagi persoalan bangsa dan dunia Islam yang semakin mengkhawatirkan ini.


Setidaknya ada empat alasan mengapa tema ini penting sekaligus strategis untuk dikaji. Pertama, tema ini menemukan momentumnya saat dunia Islam mengalami “goncangan eksistensial” yang terbilang dahsyat. Belum lagi konflik Timur Tengah yang seakan tak mengalami titik terang, dunia Islam sudah dihadapakan dengan perang terbuka dengan kelompok ISIS. Begitu seriusnya, dunia Islam di bawah komando Arab Saudi, membentuk aliansi atau koalisi untuk secara bersama membumihanguskan ISIS. Pada saat usaha ini dimulai, Arab Saudi mengalami ketegangan serius dengan Iran pasca dieksekusi matinya ulama Syi’ah. Selanjutnya, secara internal, negara Islam atau negara yang penduduknya mayoritas Muslim juga mengalami masalah yang tidak kalah krusialnya. Sebut saja masalah kemiskinaan dan kebodohan.

Kedua, jihad merupakan salah satu term Islam yang penting bahkan sangat penting namun kerap disalahpahami. Kata ini sejatinya dapat menjadi pemantik umat Islam untuk selalu bekerja keras (jihad), mengembangkan intelektualitasnya (ijtihad) dan membersihkan kalbunya (muijahadah). Jihad haruslah memiliki daya dobrak ruhaniyah atau memiliki daya tonjok psikologis bagi kamajuan. Sayangnya, bagi umat Islam kata ini seakan kehilangan kekuatannya sedangkan bagi pihak di luar Islam kata ini kerap menakutkan dan menimbulkan rasa traumatik.


Ketiga, jihad harusnya dibicarakan secara terbuka. Bahkan umat Islam harus dibiasakan untuk menyebut kata ini dan selanjutnya menginternalisasikan maknanya di dalam jiwa. Jihad adalah spirit Islam itu sendiri. Tanpa ragu saya mengatakan, Islam tidak ada tanpa jihad. Namun perlu dicatat, pemaknaan jihad harus benar seperti yang diinginkan oleh Alquran. Kata ini seharusnya tidak boleh dibajak oleh kepentingan pribadi atau golongan. Tidak dapat dipungkiri, dalam praktiknya kata ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu yang bersifat subjektif baik karena alasan politik atau juga ekonomi.


Keempat, dalam konteks luar Islam, upaya untuk menjelaskan makna jihad harus terus menerus dilakukan. Penting bagi mereka untuk mendapatkan pemahaman yang utuh mana aktivitas yang disebut jihad dan mana yang tidak dapat disebut jihad. Dakwah sejatinya tidak dimaknai hanya ajakan terhadap non muslim untuk memeluk Islam. Tetapi dakwah juga dapat dimaknai sebagai upaya untuk memberikan penjelasan yang tepat
tentang Islam. Jihad mengajak orang untuk masuk Islam mungkin tidak lagi sepenuhnya bisa dilakukan di saat semua orang sudah memiliki agama. Tetapi jihad dalam makna memberikan pencerahan dan pemahaman
terhadap ajaran Islam secara tepat tidak boleh berhenti bahkan menjadi aktivitas yang senantiasa harus terus dilakukan. Jika implikasi dari pemahaman yang tepat ini, orang tertarik kepada Islam maka hal ini patut disyukuri.


Jihad yang terambil dari kata al-juhd bermakna al-taqah wa al-masyaqqah (kesulitan, masalah yang berat). Ada yang mendefiniskan jihad sebagai bazl al-wus’i (mengerahkan kemampuan untuk menyelesaikan problema yang sulit dan berat). Di dalam Ensiklopedi Alquran kata jihad diberi makna dengan “kekuatan”, “kemampuan”, “kesulitan” dan “kelelahan”. Dari makna inilah para pengkaji Islam sering mengatakan, jihad itu sendiri membutuhkan kekuatan baik itu pemikiran, tenaga maupun harta. Juga kalbu atau jiwa. Seterusnya, jihad jugadalam implementasinya mengandung resiko kesulitan dan kelelahan. Namun yang menarik, kesulitan dan kelelahan itu walaupun akhirnya salah, tetap mendapatkan penghargaan dari Allah SWT. (Ensiklopedi Al-Qur’an : Jilid 1: 396).


Menurut Wahbah Al-Zuhailiy sebagaimana dalam karyanya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, kata jihad berasal dari bahasa Arab, bisa dari kata juhd atau bisa juga kata jahd. Kendati akar katanya sama namun maknanya berbeda. Juhd berarti kemampuan atau mengeluarkan sepenuh tenaga dan kemampuan. Sedangkan apabila asal katanya terambil dari kata jahd berarti kesukaran sehingga mengatasinya harus bersungguh-sungguh (dalam bekerja). Selanjutnya menurut Al-Raghib Al-Asfihani kata jihad itu memiliki tiga makna. Pertama, jihad melawan musuh yang nyata. Kedua, jihad melawan setan. Ketiga, jihad melawan al-hawa al-nafs. Dua yang disebut terakhir menunjukkan arti jihad dalam konteks pengendalian diri. Dari arti ini pula menjadi mudah memahami ungkapan Rasul setelah kembali dari perang Badr “Kita telah kembali dari perang kecil dan menuju perang besar (jihad al-akbar)”.


Ada beberapa pakar mengartikan jihad dengan perang. Namun harus dicatat, perang dimaksud dalam makna pembelaan diri, melindungi hak-hak peribadi dan kolektif. Bahkan di dalam surah Muhammad, hanya ada dua asalan membolehkan orang kafir diperangi. Pertama, pada saat mereka menghalangi umat Islam dari jalan Allah SWT. Kedua, mereka merusak dan mengotori kesucian agama Allah SWT. Selain kedua hal itu, orang kafir atau musyrik harus diperlakukan secara santun. Sebagian mufassir mengatakan jika kata jihad dirangkaikan dengan kata fi sabilillah (jihad fi sabilillah) barulah kata jihad dapat diterjemahkan dengan perang.


Dengan demikian, menjadi tidak tepat jika kata jihad dipakaikan untuk jenis perang yang ekspansif atau penaklukan. Untuk jenis ini kata qital sepertinya lebih tepar. Di dalam Alquran kata qital disebut 13 kali dan jika dihitung kata yang menjadi deriviasnya maka jumlah ayatnya menjadi 144. Selain kata qital, di dalam Alquran juga ditemukan kata al-harb yang disebut 6 kali, keduanya bermakna perang. Masih ada dua kata lagi yang konteksnya perang. Ghazwah dan sariyah. Kata ghazwah mengandung arti perang yang langsung diikuti oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kata sariyah bermakna perang antara kaum Muslimin dengan kuffar yang Nabi tidak ikut serta di dalamnya. Kembali kepada persoalan jihad. Kata jihad di dalam Alquran dengan segala derivasinya, disebut sebanyak 41 kali yang terdapat dalam berbagai surah, di antaranya di dalam surah Al-Furqan/25:110, Al-Nahl/16:110, Al-Ankabut/29:6, 69, Ali Imran/3:142, Al-Taubah/9:20, dan Al-Hajj/22:78. Kata-kata jihad di dalam Alquran dapat dimaknakan dengan kesulitan, tantangan dan problema hidup yang dihadapi manusia. Ada kalanya tantangan dan kesulitan hidup tersebut berkisar pada persoalan ekonomi, sosial-budaya, dan politik. Ketika manusia, mengerahkan segala kemampuan yang dimilikinya baik tenaga, pikiran
(ijtihad), ataupun modal spiritualnya (mujahadah) dan ia berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan hidupnya, maka pada saat itu dia dapat disebut orang ber-jihad. Untuk usahanya itu Allah SWT akan memberikan ganjaran pahala yang tidak terkira. Tentu saja sepanjang ia ikhlas melakukannya.


Dalam konteks kontemporer, dari akar kata j-h-d, ada tiga aktivitas yang selalu digelorakan umat Islam di dalam dirinya. Pertama, jihad dalam arti kerja keras. Jika ingin ditambakan jihad dalam makna ini bisa bermakna kerja cerdas dan kerja tuntas. Tidak kalah pentingnya juga kerja ikhlas. Kemalasan dan berleha-leha adalah musuh besar jihad. Bagi saya, ajakan Presiden RI, Jokowi tentang ayo kerja harus
dimaknai dengan “ayo jihad’. Dengan jihad seharusnya etos kerja umat Islam yang selalu dikritik sangat rendah bisa ditingkatkan. Dari akar kata j-h-d juga muncul kata ijtihad. Dalam arti yang sederhana ijtihad adalah pengerahan kemampuan intelektual untuk memecahkan persoalan kemanusiaan dengan menggunakan perangkat ilmu dan tekbologi. Implikasinya, umat Islam harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.



Problem dunia Islam saat ini adalah masih rendahnya penguasaan terhadap IPTEKS. Sebab itu kehadiran Universitas Islam Negeri (UIN) dengan fakultas sains dan teknologiya diharapkan dapat melahirkan ilmuwan-ilmuwan Muslim yang dapat berkontribusi untuk kemajuan peradaban Islam.
Selanjutnya, dari akar kata j-h-d juga lahir kata mujahadah. Sebuah upaya olah batin atau ruhani menuju kesuciannya. Mujahadah adalah upaya ruhani agar manusia tetap berada dalam keauntentikannya. Manusia
yang cenerung pada kebenaran (hanif), kebaikan (ihsan) dan indah (jamal). Manusia bukanlah makhluk material yang harus tunduk pada dominasi harta benda dan kekuasaan. Konflik dunia hari ini dari persepktif sufistik sesungguhnya disebabkan karena manusia telah kehilangan orisialitasnya. Manusia yang bergeser dari makhkluk ruhani menjadi makhluk material. Mujahadah adalah cara yang efektif mengembalikannya pada khittah penciptaannya. Tegasnya, dari aktivitas mujahadah lahirlah manusia yang berakhlak dan berintegritas.


Dalam diri umat Islam bahkan manusia pada umumnya, aktivitas jihad, ijtihad dan mujahadah harus integral dalam diri. Berjalan seiring dan harmonis. Jika ada salah satu dimensi yang tertinggal, dikhawatirkan akan melahirkan ketimpangan individu, lalu berkembang menjadi ketimpangan sosial. Akhirnya duniapun mengalami ketidakseimbangannya. Bisa saja dunia yang semakin semrawut ini disebabkan ada dimensi yang terabaikan. Bagi saya dimensi mujahadah telah tergilas kemajuan ilmu dan teknologi. Kendatipun ala mini masih dihuni manusia, namun mereka tak ubahnya sebagai robot-robot yang digerakkan mesin kontemporer, kapitalisme, materialisme, hedonisme dan isme-isme kehewanan lainnya. Dalam konteks Indonesia, khusus bagi umat Islam, kemajuan dan kejayaan tidak akan pernah kita capai sepanjang kita belum mengaktualisasikan
doktrin jihad di dalam diri kita masing-masing. Jihad, ijtihad dan mujahadah, sejatinya dapat membangkitkan umat Islam dari kondisi yang tidak menguntungkan ini. Saya sangat yakin, Indonesia yang berkemajuan hanya bisa dicapai jika aktivitas jihad, ijtihad dan mujahadah berjalan seiring. Akan lahir manusia Indonesia yang sangat produktif, menguasai IPTEK dan pada saat yang sama memiliki akhlak yang mulia. Mempunyai kecerdasan paripurna, tidak saja IQ (intelektual), EQ (emosionla), SQ (sosial) juga spiritualnya juga kuat.


Dengan demikian, seminar yang digelar Waspada ini dapat dijadikan momentum bagi umat manusia untuk kembali ke dalam rumah batinnya. Melihat dirinya dengan mata batin yang jernih. Selanjutnya membersihkan dirinya dari kerak-kerak kepalsuan yang sesungguhnya akan menghancurkan kehidupan kolektif manusia. Selamat HUT Waspada 69 semoga tetap konsisten menegakkan kebenaran dan memperjuangkan
keadilan.

*Penulis adalah Staf Pengajar FEBI UIN SU.

**Tulisan di atas dimuat Harian Waspada Medan, edisi khusus Ulang Tahun ke 69, 11 Januari 2016.


Tulisan ini dapat dibaca/klik:
www.waspadamedan.com