Lahir Tanpa Ayah?...

Lahir Tanpa Ayah?...

Lahir Tanpa Ayah?...


Bersama Kadispora Sumut Baharuddin Siagian, Dahliana (Silat), dan Sony Firdaus (Catur), usai menerima Penghargaan Tokoh Pembina Olahraga Sumut 2015 dari Plt Gubsu HT.Erry Nuradi, di Gubernuran Sumut, Oktober 2015.
Sesuai nasehat emak, kelahiran ketiga anakku tetap dengan keberadaanku di sisi emak mereka.

Ketiganya masing masing agak susah lahir sampai istriku dibantu oksigen pernafasan, tapi ketiganya lahir pagi hari sebelum jam 10.00. Artinya, kesibukan berbeda jika lahir tengah malam atau dinihari.

Selain lahir di pagi hari, ketiga anakku lahir di bulan bulan musim penghujan. Anak pertama putri lahir jam 07.57 wib 27 September 1993, anak kedua putri jam 08.57 wib 25 Oktober 1996, dan anak ketiga putra lahir jam 09.57 wib 28 Oktober 1998 atau bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda.

Ketiganya lahir di RS.Ibu Kartini PT.Bakrie Sumatera Plantation Tbk Kisaran ditangani langsung oleh Zuster Kepala Hj.Rismala Situmorang. Menurut istriku, kelahiran anak ketiga lebih awal dua pekan menurut hitungan kandungan.

"Allah Swt mendengar doa abang agar anak ketiga (M.Akbar Zikri Nehe) lahir tanggal 28 Oktober dan seorang lelaki. Alhamdulillah," jelas istriku saat kutanyai ulang Sabtu tanggal 16 Januari 2016 jam 02.43 wib.

Anak pertama lahir amat membuatku heboh, apalagi kulihat istriku sangat bersusah payah hingga dokter H.Margono Darmohusodo turut memberi instruksi, sejumlah zuster menyarankan untuk sinto (bantuan suntikan membantu bayi lahir), namun Zuster Kepala Hj.Rismala Situmorang dengan sabar berupaya menolong persalinan ini.

Zuster Rismala menyuruhku untuk berdiri di ujung bed persalinan (dulu Zal IV) atau di bagian kepala istriku. Tangan kanan istriku memegang bagian siku tangan kananku, demikian juga tangan kiriku. Mencengkeram.

Alhamdulillah, lahir bayi pertama seorang perempuan dengan berat 3,5 kilogram. Prosesi Iqamah kulakukan dengan menggendongnya setelah dibersihkan bidan. Setelah itu baru kurasakan pedih di kedua siku bagian dalam yang terluka, kiranya kuku jari tangan istriku terbenam di situ saat meregang melahirkan bayi yang kelak dinamainya Asridina Shahfira Nehe. Proses penamaan ketiga anakku dengan bantuan Al Ustadz H.Alambahri Harahap tetangga kami di kompleks PT.BSP Tbk Kisaran.

Bayi kedua yang kami namai Dinda Nurshabrina Nehe lahir lewat perjuangan istimewa istriku. Beberapa menit sebelum lahir, Perawat Erna mengabariku bahwa bayi kami perempuan lagi. Bagaimana beliau tahu sedangkan anak kami kedua belum lahir?

Ternyata posisi Dinda dalam keadaan sungsang. Lagi lagi perawat, bidan dan zuster menyarankan Sinto tapi Zuster Kepala HJ.Rismala Situmorang melarang dan tetap melakukan pertolongan normal. Dinda lahir dengan berat 3,455 kilogram.

Begitu juga saat Zikri lahir Zuster Kepala jadi pahlawan bagi kelahiran ketiga anakku, khususnya bagi istriku. Sejak dinihari isi kandungan bergejolak, istriku merasakan sakit tak terhingga di bagian belakang. Saat itu, pengakuan istriku belakangan, dia bahagia sebab dia yakin anak yang bakal lahir adalah lelaki, bakal lengkap anggota keluarga kami.

Sejam sebelum lahir "tunjangan" jabang bayi semakin keras. Zuster Kepala Hj.Rismala Situmorang tak henti memberi semangat kepada istriku. Sebagaimana kelahiran anak pertama dan kedua, aku tetap standby di bahagian kepala istriku, memberi dukungan moril penuh. Lahirlah bayi lelaki berat 3,45 kilogram. Dua kali Iqamah, saatnya adzan di saat yang sama upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda berlangsung di Lapangan Parasamya Kisaran. Aku waktu itu pengurus DPD KNPI Asahan pimpinan Ketua Ir.H.Saparuddin Nasution tentu saja tidak ikut upacara Sumpah Pemuda.

Jika ketiga anakku lahir dengan sambutan penjagaanku di sisi emaknya, aku justru lahir tanpa ayah.....Di manakah Sang Pahlawanku Nanoi Nehe?

Sebagai Muallaf, saat itu ayahku sedang mempelajari Alwasliyah dan Muhammadiyah di tengah ketekunannya sebagai kader PNI di bawah asuhan M.Tahir Cokro tokoh PNI. Ayah dalam jajaran kader utama PNI waktu itu seperti H.Ahmad Azhari, HBM.Sabar dan Hj.Marwiyah KS,BA. Guru Alwasliyah-nya kuingat dari ceritanya adalah H.Husin Kamal, sedangkan guru Muhammadiyah-nya seorang tokoh etnis Minang di jalan Teuku Umar Kisaran dan ayah dari mantan Ketua Pemuda Pancasila Asahan Ucok Thamrin.

Sebagai aparatur pemerintahan di tengah situasi sosial politik di awal 1965, yang kuingat dari ceritanya adalah tanggal 1 Januari 1965 sebagai Mantri Tani Kecamatan Buntu Pane ayah salah satu aparatur yang Dinas Piket pada Hari Libur Umum Nasional itu.

Selepas Isya tanggal 1 Januari 1965 ayah mengayuh sepedanya ke arah timur kantor Camat Buntu Pane untuk pulang ke Kayuara, Kecamatan Talawi; di mana emak menumpang di rumah nenek sudah empat bulan karena menanti kelahiran anak ketiga. Jalur pulang dan pergi kerja selama emak di Kayu Ara bagi ayah adalah via Seibejangkar, Tinjowan, Silau Maraja, Urung Pane, Sesilau Timur.

Waktu itu musim durian. Melintasi desa Urung Pane seorang warga menyapa. Ayah berhenti. Warga itu menyarankan ayah menunda pulang sampai selepas Subuh dan menginap bersamanya di gubuk kebun duriannya.

Ayah pun terlelap di gubuk tinggi berkolong itu sampai dia terjaga, jam di tangannya menunjukkan pukul 05.00 wib. Dia terjaga karena sesorang membangunkannya dan mengabarkan anak ketiganya telah lahir seorang lelaki (langsung) bernama Nurkarim.

Ayah terpaku memandang langit jernih penuh bintang gemerlapan. Tatapannya tertumpu pada tiga buah bintang yang jauh terpencil. Rembulan memercikkan binar cahayanya di atas dedaun pohon durian.

Ayah segera mandi, berwudhuk dan usai sholat subuh warga pemilik gubuk sudah menyiapkan nasi panas dan buah durian. Ayah pun sarapan sambil menceritakan (seolah) ada yang membangunkannya dari tidur tadi Subuh.

"Besok besok kabari ya pak Nehe, bagaimana kelahiran anak bapak ketiga, lelaki atau perempuan,"hanya ini tanggapan warga bermarga Samosir itu sebagaimana pernah dikisahkan ayah kepadaku.

Kisah dari emakku; tahun baru 1965 hal yang kurang menyenangkan bagi emakku dengan kondisi "badan elok berat" itu. Perut mulas, suami tidak di rumah.

"Geram juga omak waktu itu. Tapi bagaimanalah ayah kau sedang tugas pula,"kisah omak kepadaku sembari menggambarkan bagaimana mencekamnya keadaan lingkungan waktu itu oleh pergolakan sosial politik.

Tanggal 1 Januari 1965 praktis dilalui emak dengan resah gelisah dan selalu berkeringat sampai akhirnya tengah malam dia tertidur. Beberapa sanak saudara menginap di rumah nenek termasuk bidan Siti dari Simpang Tiga yang terhitung kakak iparnya (istri dari abang tirinya Muhammad Rais).

Tepat adzan Subuh emak tersentak. Goncangan keras di perutnya membuatnya terjaga. Emak setengah berteriak. Bidan dan sanak saudara perempuan menyerbu ke kamar nenek.

Alat penerangan tradisional sebanyaknya dihidupkan termasuk senter dua batu. Allahu Akbar..., di atas kain sarung putih yang dikenakan emak, di antara kedua kakinya ada seekor Kalajengking hitam membiru!

Atok dengan cekatan menyingkirkan Kalajengking itu (tidak pernah kutahu apakah Kalajengking itu dibunuh atok, sebab emak juga tidak tahu. Nenek pernah kutanya dan mengatakan tidak perlu mempermasalahkan dibunuh atau tidak...). Beberapa menit setelah itu akupun lahir. Jika dihubungkan dengan cerita ayah, saat aku lahir di situlah ayah terjaga dari tidurnya di dalam gubuk kebun durian pak Samosir di desa Urung Pane Kecamatan Buntu Pane.

Aku tidak berkecil hati jika kelahiranku tanpa ayah di sisi emakku, sedangkan ke tujuh saudara kandungku lahir di mana ayah menemani emak.

Bahkan ada kebanggaan atas sikap ayah yang mengutamakan tugas dibanding menanti kelahiran anaknya ketiga.

Dari cerita ayah soal pandangannya tertumpu pada "tiga bintang yang terpencil" kupahami bahwa itu adalah tiga anak kami amanah dariNYA.

Semoga ketiga anakku adalah Bintang, paling tidak bagi hatiku dan bagi kehidupannya. Aamiin Ya Robbal Alaamiin.

Wassalam. Kututup catatan ini tepat pukul 03.58 wib dinihari tanggal 16 Januari 2016.