QOWWAM Dan Lelaki Petantang Petenteng
foto koleksi Ami Siregar
Terlepas dari memang Allah mentakdirkan kita berpasang-pasangan, sebagai penyempurna satu sama lain, tapi lebih dari itu bagaimana dengan pasangan kita, kita bisa bersinergi dan jangan sampai adanya status kita sebagai ini sebagai itu, berpasangan menjadi kendala kita untuk melakukan ihsan yang lebih maksimal.
Bisa kita lihat di QS An Nisa ayat 34.
An Nisa ayat 34, bagi yang belum menikah, ini akan menjadi wawasan dan informasi yang sangat berarti. Bisa dipakai untuk mengukur kesiapan dan pengetahuan calon suami.
Dia paham nggak fungsinya sebagai seorang laki-laki?
Dalam An Nisa ayat 34 ini Allah berfirman :
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah, lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar."
Di sini disebutkan di awal, Allah sampaikan bahwa memang peran dan fungsi laki-laki dan perempuan sudah diatur, sudah ada undang-undangnya. Sudah harga mati tak bisa lagi diotak atik.
Tinggal bagaimana kita mensiasati, bagaimana kita harus belajar biar maksimal. Agar jangan sampai dengan peran dan fungsi ini kemudian kita merasa terbatasi gerak gerik sehingga kita menjadi pribadi yang tidak mampu sesuai dengan kehendak Allah swt.
Yang petama kita bahas soal laki-lakinya dulu nih.
Ini biasanya ayat gacoan para lelaki. Jadi, perempuan mesti paham ayat ini. Kalau-kalau calon pasangan atau pasangan kita nggak ngerti, kita harus memahami biar nggak salah arti dan nggak salah menerapkan.
Kasusnya banyak misalnya...ada yang petantang petenteng bawa ayat ini.
Yang pertama disampaikan
"laki-laki itu pemimpin"...
Memang sudah dari sononya lelaki itu punya sifat dan karakter dasar dan sudah didukung sama Allah bahwa laki-laki itu punya sifat qowwam.
Yang paling gampang melihat rasa qowwamnya laki-laki, ya...mau dia salah mau dia benar maunya dibilang benar. Salah aja maunya dibilang benar apalagi benar. Itu kan qowamnya yang berperan tuh. Benerrr nggak? ????
Mau kita setuju atau nggak setuju, maunya mesti setuju pokoknya. Itu qowwamnya yang keluar. Udah pasti itu. Tentang kebijakan lah dan lain-lain lah, biasanya begitu. Itu udah standar.
Filosofi An Nisa : 34 nya itu luar biasa. Sampai kadang perempuan kaya’ nggak punya status apa-apa gitu. Itu yang paling nggak enak.
Tapi coba dipahamkan, tau nggak sihh qowwam itu apa?
Jadi Allah memilih diksi, memilih kata-kata pemimpin dalam rumah tangga itu bukan imam ya...bukan imam. Tapi kata-katanya qowwam.
Qowwam itu ya mubalagho. Sama asal katanya dari qoma, yaqumu. Berdiri. Mendirikan. Qoma yaqumu, iqomah, qowwam itu satu rumpun.
Kalau ulama tafsir menyebutkan arti dari qowwam adalah mereka punya hak perwalian. Itu maksudnya. Laki-laki itu punya hak perwalian yang dia miliki. Kadang-kadang dalam satu konsep dia punya hak paksa terhadap anak perempuannya. Adakalanya seperti itu. Ekstrim.
Jadi kalau kata bapak...niy ada pilihan laki-laki yang baik ya, seorang ayah punya hak paksa dengan segala macam aturannya tentunya. Perizinan, dan segala macam. Itu qowwam.
Maka harus dipahamkan kalau anda laki-laki, sama Allah dikasi punya hak penuh perwalian atas perempuan, atas orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya maka yang menjadi keharusan adalah,"Pantaskan diri anda, agar anda punya hak perwalian itu." Itu kuncinya.
Jangan cuma petantang petenteng...qowwam...qowwam... qowwam tapi dirinya sendiri tidak mempantaskan diri, tidak cukup ilmu misalnya, nggak paham pula qowwam itu kaya’ apa sih? Nah ini yang kita bahas tuh.
Lihat Al Baqoroh 233 :
"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."
Itu simpel aja tuh perwaliannya. Ini yang paling mendasar.
Itu hak dasar yang harus dipenuhi bagi seorang wali untuk seluruh yang dia tanggungjawabi.
* Bagi seorang laki-laki yang menyebabkan kelahiran seorang anak maka, kewajiban dia adalah rezki mereka, rezeki perempuan-perempuan yang menjadi tanggung jawabnya.
* Yang kedua, pakaian mereka. Nah sekarang kalau ditanya, yang ngasi rizki kita siapa? Allah ya.
Sebut apa saja rezeki kita dari Allah?
Bisa bernafas, kebahagiaan, ketenangan, pendidikan, sandang, pangan, papan, rasa aman, itu rezeki dari Allah. Tidak ada kekhawatiran, peluang untuk berkarya, untuk selalu beramal sholeh, selalu berbuat ihsan, itu juga rezeki, karena Allah sudah perintahkan sudah pasti Allah kasi supporting systemnya agar kita bisa ke arah sana.
Itu menjadi kewajiban suami untuk mengantarkan itu semua hingga nyampe kepada kita. Itu yang kadang laki-laki itu nggak paham. Istrinya punya hak dasar punya ilmu, mau pergi ngaji nggak dikasi izin.
Istri : Ya sudah panggilin aja deh orang ke rumah kan mau belajar ilmu (mungkin Al Qur'annya masih terbata-bata).
Suami : Kaya’ suami gajinya berapa aja...emang murah apa bayar guru ngaji?
Istri : yowis lah nggak usah guru privat, ajari saya.
Suami : Nggak lihat apa saya pergi pagi pulang malam kerja? Mana ada waktu ngajarin.
Lho piye tho iki laki-laki? ????
Padahal kewajiban dia membuat ilmu itu nyampe dan itu bagian dari rezeki Allah untuk kita perempuan dan juga orang-orang yang ada di bawah perwaliannya. Kebahagiaan pun sama. Itu rezeki yang harus sampai.
Makanya ada konsep dalam pasangan suami istri itu, ada undang-undangnya.
Harus berupaya untuk membuat satu sama lain itu merasa nyaman, merasa tenang, merasa bahagia karena itu rezeki dari Allah.
Itu kadang-kadang yang miss nya tuh di situ tuh para laki-laki. Nggak pahamnya tuh disitu.
Petantang petenteng...qowwam...qowwam tapi dia sendiri nggak memberikan ruang agar rezeki itu nyampe ke kita.
Qowwam tuh seperti itu sebenarnya yang harus diedukasi kepada para lelaki. Termasuk anak kita kalau kita punya anak laki-laki biar nggak salah kaprah.
Misalnya apa, mungkin kalau kita punya anak laki-laki, tugas kita memahamkan,"Kamu itu qowwam, itu sudah harga mati. Udah nggak bisa tawar-tawar lagi."
Begitu dia lahir sebagai laki-laki, dia punya qowwam itu. Tapi, dia harus paham. Agar punya hak sebagai qowwam itu berarti kamu harus apa. Kamu harus memahami apa. Qowwam itu seperti apa dan sebagainya. Karena tanggung jawab itu tidak hanya untuk istrinya, nanti juga buat anak-anaknya, belum lagi ibunya, neneknya ponakan perempuannya, saudara perempuannya...tanggung jawabnya besar laki-laki itu.
Nah selanjutnya laki-laki punya sikap qowwam begitu yang pertama, memang Allah sudah mengutamakan yang satu dengan yang lainnya. Jadi memang Allah memberi keutamman itu bagi laki-laki dengan diberikan sifat qowwam tadi.
Kedudukan sebagai qowwam itu memang sudah keutamaan dari Allah.
Yang kedua, karena sebab mereka punya tanggung jawab besar. Harus menafkahi kita. Nafkah itu jangan dikira cuma makan aja ya tapi sandang, pangan, papan pendidikan, nafkah lahir batin, itu semua.
Ketika misalnya kita menghadapi situasi dia menerapkan qowwam ke diri kita tidak maksimal, padahal Islam tidak membatasi (misalnya), tapi mungkin terbentur dengan peran suami atau apa, berarti mesti didiskusikan. Dipahamkan, jangan-jangan memang karena sang suami tidak paham.
Boleh kog, waktu ta’aruf kita tanyakan gitu. Paham nggak? Boleh tanyakan, masak, ngepel nyapu, nyuci, itu kewajiban siapa? Karena sebenarnya itu bukan kewajiban kita sebagai seorang istri. Itu kewajiban suami, dan suami harus tau itu kewajiban dia.
Biasanya kan kalau mau nikah baca-baca buku ya...alhamdulillah klo paham mah aman. Dan kalau sudah ditanyakan di awal, paling tidak sudah ngasi kode gitu.
Tidak masalah juga sebelum nikah, dikasi tau bahwa suami itu siapa, terus ke depannya akan gimana, jadi suami pun tau, dan dia bisa ngukur juga, kalaupun ada yang tidak sepakat, bisa dikomunikasikan.
Kalau misalnya sudah jadi suami masih belum mengerti, ya gimana caranya?
Diberi pengertian.
“Ga bisa kalau saya ngomong mah.”
Cari cara!
Misalnya minta tolong siapa, atau dengan cara seperti apa gitu ya.
Mungkin kita pernah mendengar orang berkata, atau mungkin juga kita yang pernah mengungkapkan,"Enak ya bergaul sama orang-orang yang memahami agama. Karena mereka umumnya santun-santun, bagus."
Kita bisa melihat bahwa ternyata dengan mengaji insyaa Allah kita bisa tersibghoh dengan hal-hal baik di lingkungan pengajian. Sadar atau tidak, ngaku atau nggak ngaku, pasti ada terwarnai. Ntah dari sikap-sikap kita, ntah dari pikiran-pikiran kita tapi pasti ada pembeda.
Dan itu bisa juga menjadi salah satu sarana, kalau kita mendapati misalnya seperti ini..."Kenapa ya dengan suami nggak pernah nyambung-nyambung?"
Ya bagaimana mau nyambung kalau misalnya kita belum ada di satu barisan misalnya.
Berati kita bisa mulai tuh dari beberapa tahapan atau kita bisa minta tolong siapa yang dituakan, atau bisa apalah kalau tentang suami kita in syaa Allah kita ngerti lah, kita tau gimana caranya.
Tapi poinnya adalah, memahamkan pada laki-laki, suami, adik-adik, anak laki-laki kita, siapapun teman-teman kita yang laki-laki, dipahamkan.
Siapa pun dia laki-laki, dia diberi keutamaan sebagai qowwam, apa itu qowwam, dan bagaimana dia berusaha untuk bisa menjadi qowwam.
Ketika kemudian laki-laki sudah seperti itu, maka di ayat ini Allah pasangkan, dengan keriteria istri.
Yang pertama, istrinya adalah yang bergelar sholihah. Itu yang kita harapkan.
Maka kemudian kitanya, jangan kemudian nuntut suami memenuhi syarat sebagai qowwam, menuntut suami memenuhi semua kebutuhan kita, tapi kita nggak mau dibatasi segala macam berarti kita tidak mau menjadi istri yang sholihah.
Padahal kewajiban istri itu gampang, kita cuma menjadi istri yang sholihah aja cukup. Nggak banyak kewajiban kita sebagai seorang istri mah. Apa aja sih sholihah itu indikasinya?
Cuman 2, yang pertama qonitat, tunduk patuh aja udah. Tunduk patuh sama Allah swt. Apa kata Allah?
Rosululloh bilang, perempuan itu kalau mau masuk surga gampang, nggak usah neko-neko. Sholatnya yang wajib aja sehari 5x. Puasanya yang wajib setahun sekali, Ramadhan. Abis itu, taat sama suami. Udah. Boleh masuk surga dari pintu mana saja yang dia suka.
Taat sama suami tuh, kalau suaminya yang belum punya karakter qowwam emang susah. Tapi kalau karakternya udah qowwam in syaa Allah gampang.
Maka kemudian dibutuhkan kita untuk bisa bersinergi dengan suami.
“Abi, umi mau jadi istri sholehah, nurut dan manut sama abi, sok atuh saya akan nurut manut deh. Tapi abi coba donk pelajari bagaimana keriteria seorang qowwam.” Gitu.
Tinggal didiskusikan aja baik-baik.
Mungkin di awal-awal berumah tangga suka ada konflik. plus juga saat itu mungkin istri juga belum jadi yang sholihat, misalnya. Masih nuntut sama suami dan segala macam. Bisa juga karena miskomunikasi aja. Kalau istri ngasi tau, dibilangnya ngeguruin. Dikasi motivasi dibilangnya ngejatuhin. Ternyata salah caranya, ya memang belum nyambung aja.
Kalau sudah gitu ya tanyakan balik,"Ya sudah coba kasi tau umi gimana caranya?"
Baru deh suami ngomong begini begini begini...akhirnya saling mengerti.
Ya memang nggak bisa langsung disamain kondisinya dengan yang kita pelajari. Jangan disamain juga dengan suami orang. Kadang perempuan kan suka begitu, membandingkan dengan suami orang.
“Umi tuh heran, teman umi aja anaknya bererot, dia masih bisa tuh gini gitu gini gitu...kenapa giliran umi mah sekedar datang pengajian aja diberat-beratin?" Misalnya gitu ya.
Jangan pakai disama-samain dengan suami orang. Bisa marah suami dibegitukan. Masih untung nggak keluar katanya,”Kenapa nggak nikah sama dia aja?”
Jadi kita juga harus bisa menahan diri.
Tunduk patuh aja sama Allah, segala macam yang diperintahkan Allah, ya udah kita ikuti. Termasuk aturan-aturan bagaimana kita melayani suami.
Yang kedua, cukup menjadi perempuan yang pandai menjaga segala sesuatu yang memang diciptakan Allah untuk dijaga.
Nah kalau sudah bersuami, apa yang Allah minta untuk kita jaga? Suami, aib suami, anak, itu amanah yang harus kita jaga. Begitu juga harta.
Apapun yang diperintahkan Allah untuk kita jaga ya kita jaga. Apapun yang diminta suami untuk kita jaga ya kita jaga.
“Mi, hari ini abi pergi sampai sore, jangan kemana-mana ya mi di ruman aja.”
Ya sudah kita di rumah. Mau ada acara apapun, ya tetap aja di rumah. Kalau mau nego misalnya, tau-tau orang tua telpon atau apa, disuruh apa sama orang tua ya nego aja sama suami. Minta ijin ke suami. Kalau dijawab,”Gampang. Nanti aja tunggu abi pulang lah pokoknya.” Ya sudah kita tinggal bilang saja baik-baik ke orang tua.
Terima tamu pun sama. Kalau dipesani jangan terima tamu, ya jangan terima tamu.
Teman mau datang ya bilang aja,mohon maaf ya suami tidak di rumah, tadi sudah bilang kaya’nya nggak bisa deh kalau ketemuan hari ini, besok aja ya. Tinggal gitu aja. Nggak usah terlalu baper juga. Kadang yang ngundang baper itu kita juga sihh.
Memang sih untuk pelaksanaannya ga semudah yang dibicarakan. Artinya segala sesuatu yang Allah ingin jaga termasuk uang belanja harus dijaga.
Kalau suami yang urusin belanja, mah nggak ada tugas kita jagain uang belanja.
Itu kalau dia sudah tau, masak belanja, dan segala macam adalah kewajiban suami.
Dari anak laki-laki kita masih kecil kita wajib menanamkan figur laki-laki sebagai qowwam itu seperti apa.
Prinsipnya, sebenarnya kenapa laki-laki yang berkewajiban belanja, biar dia tau berapa kebutuhan kita sehari-harinya, dan suami bisa ngukur, dia harus cari berapa untuk kebutuhan kita itu.
Memang puyeng juga kalau misalnya suami kasi ya udah pokoknya itu, sebulan cuma itu. Cukup nggak cukup pokoknya itu. Karena faktanya kan banya istri yang dibegitukan sama suaminya. Bingung sendiri tuh istrinya pontang panting.
Kalau misalnya ada yang diamanahkan menjaga salah satunya keuangan rumah tangga, jangan dianggap lagi uang kita uang kita uang suami uang kita. nggak ada.
Dalam Islam tuh nggak gitu. Uang yang dikasi suami itu amanah.
"Bagi mereka apa yang mereka hasilkan dari jerih payahnya, bagi kamu perempuan juga apa yang kamu dapatkan dari jerih payah kamu."
Uang suami dari hasil jerih payahnya, itu uang suami. Yang dikasi ke kita itu baru jatah kita, selebihnya uang suami.
Yang tidak diberikan untuk kita, itu uang suami. Ya terserah suami mau diapain. Mau dikasi ke ibunya itu hak dia. Mau dikasi ke saudaranya itu hak dia. Apa yang dikasi ke kita baru itu hak kita.
Yang dikasi ke kita juga kadang-kadang bukan hanya untuk kita. Cuma amanah doank. Dikasi gitu satu amplop...abis itu jangan lupa kontrakan mi, listrik, air, uang sekolah anak, lah semuanya di situ. Udah persiapan sebulan, itu pokoknya anggaran belanja yang diamanahkan untuk ini itu ya bukan uang kita. Itu uang suami yang dititipkan ke kita yang harus kita salurkan sesuai dengan amanahnya.
Terus kalau kita minta dijatahin untuk kita boleh nggak? Boleh.
Bahkan dalam fiqihnya, kalau suami beli baju, wajib istrinya dibeliin baju. Suami beli sepatu 5 berjejer, istri dibeliin lah 5 bejejer, misalnya.
Pembantu dan segala macam itu kewajiban suami mendapat nafkah atas itu.
Kalau istrinya pendakwah yang dia ijinkan keluar rumah, itu dikasinya 2 pembantu. Pembantu di rumah untuk ngurusin rumah dan asisten pribadi kalau istri keluar.
Tapi kan kalau istri sholihah, nggak ngoyo begitu ya. Ya dilihat juga kemampuan suaminya. Artinya, ketika kita paham sebenarnya laki-laki itu besar tanggung jawabnya. Maka kita pun berusaha menjadi istri-istri yang sholihah. Biar kemudian bisa juga saling bersinergi.
Supaya suami bisa jadi suami yang kita inginkan, kitapun harus support suami biar bisa menjadi suami yang punya kriteria qowwam.
Itu poinnya. Bagaimana kemudian kita berusaha untuk saling memahami peran nya masing-masing.
Terakhir, ternyata di ayat yang di bawahnya ayat yang ke 35 itu disebutkan selain kriteria istri yang sholihah, ada istri yang tidak lagi sholihah. Tapi dia berkarakter suka membangkang. Kadang-kadang tanpa sadar, kita bisa masuk ke dalam golongan orang-orang yang membangkang. Tidak mau mentaati suami. Itu berat ya lebelnya.
Jadi sekali Allah perintahkan taat sama suami, tapi kita nggak mau taat, itu kita bisa jatuh pada karakter yang kedua, yaitu istri yang pembangkang. Banyak perempuan kaya’ gitu yang dengan dalih apapun menjadi pembangkang terhadap suaminya. Mungkin karena finansial lebih, mungkin karena ilmunya lebih, mungkin karena status sosialnya lebih, atau mungkin karena hak dasarnya tidak terpenuhi suami, dia kemudian naik tuh.
Jadi kalau kita membangkang selalu perhatiin deh pasti itu ego kita sedang naik. Kalau kita menempatkan diri kita di atas suami, jatuhnya pasti nanti ada pembangkangan terhadap suami. Merasa misalnya pendapat kita lebih bagus, lebih tinggi, naik tuh kita udah. Argumennya udah pedes misalnya ya. Maka mudah-mudahan jangan sampai kita terjerumus menjadi istri-istri yang kemudian tergolong pembangkang.
Terakhir, seorang lelaki adalah qowwam, pantaskan diri menjadi qowwam. Pasangannya adalah wanita sholehah. Bersinergilah untuk mencapai kriteria tersebut.
Catatan Diana Bhakti Siregar
Reff : Ustadzh Triyana

Terlepas dari memang Allah mentakdirkan kita berpasang-pasangan, sebagai penyempurna satu sama lain, tapi lebih dari itu bagaimana dengan pasangan kita, kita bisa bersinergi dan jangan sampai adanya status kita sebagai ini sebagai itu, berpasangan menjadi kendala kita untuk melakukan ihsan yang lebih maksimal.
Bisa kita lihat di QS An Nisa ayat 34.
An Nisa ayat 34, bagi yang belum menikah, ini akan menjadi wawasan dan informasi yang sangat berarti. Bisa dipakai untuk mengukur kesiapan dan pengetahuan calon suami.
Dia paham nggak fungsinya sebagai seorang laki-laki?
Dalam An Nisa ayat 34 ini Allah berfirman :
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah, lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar."
Di sini disebutkan di awal, Allah sampaikan bahwa memang peran dan fungsi laki-laki dan perempuan sudah diatur, sudah ada undang-undangnya. Sudah harga mati tak bisa lagi diotak atik.
Tinggal bagaimana kita mensiasati, bagaimana kita harus belajar biar maksimal. Agar jangan sampai dengan peran dan fungsi ini kemudian kita merasa terbatasi gerak gerik sehingga kita menjadi pribadi yang tidak mampu sesuai dengan kehendak Allah swt.
Yang petama kita bahas soal laki-lakinya dulu nih.
Ini biasanya ayat gacoan para lelaki. Jadi, perempuan mesti paham ayat ini. Kalau-kalau calon pasangan atau pasangan kita nggak ngerti, kita harus memahami biar nggak salah arti dan nggak salah menerapkan.
Kasusnya banyak misalnya...ada yang petantang petenteng bawa ayat ini.
Yang pertama disampaikan
"laki-laki itu pemimpin"...
Memang sudah dari sononya lelaki itu punya sifat dan karakter dasar dan sudah didukung sama Allah bahwa laki-laki itu punya sifat qowwam.
Yang paling gampang melihat rasa qowwamnya laki-laki, ya...mau dia salah mau dia benar maunya dibilang benar. Salah aja maunya dibilang benar apalagi benar. Itu kan qowamnya yang berperan tuh. Benerrr nggak? ????
Mau kita setuju atau nggak setuju, maunya mesti setuju pokoknya. Itu qowwamnya yang keluar. Udah pasti itu. Tentang kebijakan lah dan lain-lain lah, biasanya begitu. Itu udah standar.
Filosofi An Nisa : 34 nya itu luar biasa. Sampai kadang perempuan kaya’ nggak punya status apa-apa gitu. Itu yang paling nggak enak.
Tapi coba dipahamkan, tau nggak sihh qowwam itu apa?
Jadi Allah memilih diksi, memilih kata-kata pemimpin dalam rumah tangga itu bukan imam ya...bukan imam. Tapi kata-katanya qowwam.
Qowwam itu ya mubalagho. Sama asal katanya dari qoma, yaqumu. Berdiri. Mendirikan. Qoma yaqumu, iqomah, qowwam itu satu rumpun.
Kalau ulama tafsir menyebutkan arti dari qowwam adalah mereka punya hak perwalian. Itu maksudnya. Laki-laki itu punya hak perwalian yang dia miliki. Kadang-kadang dalam satu konsep dia punya hak paksa terhadap anak perempuannya. Adakalanya seperti itu. Ekstrim.
Jadi kalau kata bapak...niy ada pilihan laki-laki yang baik ya, seorang ayah punya hak paksa dengan segala macam aturannya tentunya. Perizinan, dan segala macam. Itu qowwam.
Maka harus dipahamkan kalau anda laki-laki, sama Allah dikasi punya hak penuh perwalian atas perempuan, atas orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya maka yang menjadi keharusan adalah,"Pantaskan diri anda, agar anda punya hak perwalian itu." Itu kuncinya.
Jangan cuma petantang petenteng...qowwam...qowwam...
Lihat Al Baqoroh 233 :
"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."
Itu simpel aja tuh perwaliannya. Ini yang paling mendasar.
Itu hak dasar yang harus dipenuhi bagi seorang wali untuk seluruh yang dia tanggungjawabi.
* Bagi seorang laki-laki yang menyebabkan kelahiran seorang anak maka, kewajiban dia adalah rezki mereka, rezeki perempuan-perempuan yang menjadi tanggung jawabnya.
* Yang kedua, pakaian mereka. Nah sekarang kalau ditanya, yang ngasi rizki kita siapa? Allah ya.
Sebut apa saja rezeki kita dari Allah?
Bisa bernafas, kebahagiaan, ketenangan, pendidikan, sandang, pangan, papan, rasa aman, itu rezeki dari Allah. Tidak ada kekhawatiran, peluang untuk berkarya, untuk selalu beramal sholeh, selalu berbuat ihsan, itu juga rezeki, karena Allah sudah perintahkan sudah pasti Allah kasi supporting systemnya agar kita bisa ke arah sana.
Itu menjadi kewajiban suami untuk mengantarkan itu semua hingga nyampe kepada kita. Itu yang kadang laki-laki itu nggak paham. Istrinya punya hak dasar punya ilmu, mau pergi ngaji nggak dikasi izin.
Istri : Ya sudah panggilin aja deh orang ke rumah kan mau belajar ilmu (mungkin Al Qur'annya masih terbata-bata).
Suami : Kaya’ suami gajinya berapa aja...emang murah apa bayar guru ngaji?
Istri : yowis lah nggak usah guru privat, ajari saya.
Suami : Nggak lihat apa saya pergi pagi pulang malam kerja? Mana ada waktu ngajarin.
Lho piye tho iki laki-laki? ????
Padahal kewajiban dia membuat ilmu itu nyampe dan itu bagian dari rezeki Allah untuk kita perempuan dan juga orang-orang yang ada di bawah perwaliannya. Kebahagiaan pun sama. Itu rezeki yang harus sampai.
Makanya ada konsep dalam pasangan suami istri itu, ada undang-undangnya.
Harus berupaya untuk membuat satu sama lain itu merasa nyaman, merasa tenang, merasa bahagia karena itu rezeki dari Allah.
Itu kadang-kadang yang miss nya tuh di situ tuh para laki-laki. Nggak pahamnya tuh disitu.
Petantang petenteng...qowwam...qowwam tapi dia sendiri nggak memberikan ruang agar rezeki itu nyampe ke kita.
Qowwam tuh seperti itu sebenarnya yang harus diedukasi kepada para lelaki. Termasuk anak kita kalau kita punya anak laki-laki biar nggak salah kaprah.
Misalnya apa, mungkin kalau kita punya anak laki-laki, tugas kita memahamkan,"Kamu itu qowwam, itu sudah harga mati. Udah nggak bisa tawar-tawar lagi."
Begitu dia lahir sebagai laki-laki, dia punya qowwam itu. Tapi, dia harus paham. Agar punya hak sebagai qowwam itu berarti kamu harus apa. Kamu harus memahami apa. Qowwam itu seperti apa dan sebagainya. Karena tanggung jawab itu tidak hanya untuk istrinya, nanti juga buat anak-anaknya, belum lagi ibunya, neneknya ponakan perempuannya, saudara perempuannya...tanggung jawabnya besar laki-laki itu.
Nah selanjutnya laki-laki punya sikap qowwam begitu yang pertama, memang Allah sudah mengutamakan yang satu dengan yang lainnya. Jadi memang Allah memberi keutamman itu bagi laki-laki dengan diberikan sifat qowwam tadi.
Kedudukan sebagai qowwam itu memang sudah keutamaan dari Allah.
Yang kedua, karena sebab mereka punya tanggung jawab besar. Harus menafkahi kita. Nafkah itu jangan dikira cuma makan aja ya tapi sandang, pangan, papan pendidikan, nafkah lahir batin, itu semua.
Ketika misalnya kita menghadapi situasi dia menerapkan qowwam ke diri kita tidak maksimal, padahal Islam tidak membatasi (misalnya), tapi mungkin terbentur dengan peran suami atau apa, berarti mesti didiskusikan. Dipahamkan, jangan-jangan memang karena sang suami tidak paham.
Boleh kog, waktu ta’aruf kita tanyakan gitu. Paham nggak? Boleh tanyakan, masak, ngepel nyapu, nyuci, itu kewajiban siapa? Karena sebenarnya itu bukan kewajiban kita sebagai seorang istri. Itu kewajiban suami, dan suami harus tau itu kewajiban dia.
Biasanya kan kalau mau nikah baca-baca buku ya...alhamdulillah klo paham mah aman. Dan kalau sudah ditanyakan di awal, paling tidak sudah ngasi kode gitu.
Tidak masalah juga sebelum nikah, dikasi tau bahwa suami itu siapa, terus ke depannya akan gimana, jadi suami pun tau, dan dia bisa ngukur juga, kalaupun ada yang tidak sepakat, bisa dikomunikasikan.
Kalau misalnya sudah jadi suami masih belum mengerti, ya gimana caranya?
Diberi pengertian.
“Ga bisa kalau saya ngomong mah.”
Cari cara!
Misalnya minta tolong siapa, atau dengan cara seperti apa gitu ya.
Mungkin kita pernah mendengar orang berkata, atau mungkin juga kita yang pernah mengungkapkan,"Enak ya bergaul sama orang-orang yang memahami agama. Karena mereka umumnya santun-santun, bagus."
Kita bisa melihat bahwa ternyata dengan mengaji insyaa Allah kita bisa tersibghoh dengan hal-hal baik di lingkungan pengajian. Sadar atau tidak, ngaku atau nggak ngaku, pasti ada terwarnai. Ntah dari sikap-sikap kita, ntah dari pikiran-pikiran kita tapi pasti ada pembeda.
Dan itu bisa juga menjadi salah satu sarana, kalau kita mendapati misalnya seperti ini..."Kenapa ya dengan suami nggak pernah nyambung-nyambung?"
Ya bagaimana mau nyambung kalau misalnya kita belum ada di satu barisan misalnya.
Berati kita bisa mulai tuh dari beberapa tahapan atau kita bisa minta tolong siapa yang dituakan, atau bisa apalah kalau tentang suami kita in syaa Allah kita ngerti lah, kita tau gimana caranya.
Tapi poinnya adalah, memahamkan pada laki-laki, suami, adik-adik, anak laki-laki kita, siapapun teman-teman kita yang laki-laki, dipahamkan.
Siapa pun dia laki-laki, dia diberi keutamaan sebagai qowwam, apa itu qowwam, dan bagaimana dia berusaha untuk bisa menjadi qowwam.
Ketika kemudian laki-laki sudah seperti itu, maka di ayat ini Allah pasangkan, dengan keriteria istri.
Yang pertama, istrinya adalah yang bergelar sholihah. Itu yang kita harapkan.
Maka kemudian kitanya, jangan kemudian nuntut suami memenuhi syarat sebagai qowwam, menuntut suami memenuhi semua kebutuhan kita, tapi kita nggak mau dibatasi segala macam berarti kita tidak mau menjadi istri yang sholihah.
Padahal kewajiban istri itu gampang, kita cuma menjadi istri yang sholihah aja cukup. Nggak banyak kewajiban kita sebagai seorang istri mah. Apa aja sih sholihah itu indikasinya?
Cuman 2, yang pertama qonitat, tunduk patuh aja udah. Tunduk patuh sama Allah swt. Apa kata Allah?
Rosululloh bilang, perempuan itu kalau mau masuk surga gampang, nggak usah neko-neko. Sholatnya yang wajib aja sehari 5x. Puasanya yang wajib setahun sekali, Ramadhan. Abis itu, taat sama suami. Udah. Boleh masuk surga dari pintu mana saja yang dia suka.
Taat sama suami tuh, kalau suaminya yang belum punya karakter qowwam emang susah. Tapi kalau karakternya udah qowwam in syaa Allah gampang.
Maka kemudian dibutuhkan kita untuk bisa bersinergi dengan suami.
“Abi, umi mau jadi istri sholehah, nurut dan manut sama abi, sok atuh saya akan nurut manut deh. Tapi abi coba donk pelajari bagaimana keriteria seorang qowwam.” Gitu.
Tinggal didiskusikan aja baik-baik.
Mungkin di awal-awal berumah tangga suka ada konflik. plus juga saat itu mungkin istri juga belum jadi yang sholihat, misalnya. Masih nuntut sama suami dan segala macam. Bisa juga karena miskomunikasi aja. Kalau istri ngasi tau, dibilangnya ngeguruin. Dikasi motivasi dibilangnya ngejatuhin. Ternyata salah caranya, ya memang belum nyambung aja.
Kalau sudah gitu ya tanyakan balik,"Ya sudah coba kasi tau umi gimana caranya?"
Baru deh suami ngomong begini begini begini...akhirnya saling mengerti.
Ya memang nggak bisa langsung disamain kondisinya dengan yang kita pelajari. Jangan disamain juga dengan suami orang. Kadang perempuan kan suka begitu, membandingkan dengan suami orang.
“Umi tuh heran, teman umi aja anaknya bererot, dia masih bisa tuh gini gitu gini gitu...kenapa giliran umi mah sekedar datang pengajian aja diberat-beratin?" Misalnya gitu ya.
Jangan pakai disama-samain dengan suami orang. Bisa marah suami dibegitukan. Masih untung nggak keluar katanya,”Kenapa nggak nikah sama dia aja?”
Jadi kita juga harus bisa menahan diri.
Tunduk patuh aja sama Allah, segala macam yang diperintahkan Allah, ya udah kita ikuti. Termasuk aturan-aturan bagaimana kita melayani suami.
Yang kedua, cukup menjadi perempuan yang pandai menjaga segala sesuatu yang memang diciptakan Allah untuk dijaga.
Nah kalau sudah bersuami, apa yang Allah minta untuk kita jaga? Suami, aib suami, anak, itu amanah yang harus kita jaga. Begitu juga harta.
Apapun yang diperintahkan Allah untuk kita jaga ya kita jaga. Apapun yang diminta suami untuk kita jaga ya kita jaga.
“Mi, hari ini abi pergi sampai sore, jangan kemana-mana ya mi di ruman aja.”
Ya sudah kita di rumah. Mau ada acara apapun, ya tetap aja di rumah. Kalau mau nego misalnya, tau-tau orang tua telpon atau apa, disuruh apa sama orang tua ya nego aja sama suami. Minta ijin ke suami. Kalau dijawab,”Gampang. Nanti aja tunggu abi pulang lah pokoknya.” Ya sudah kita tinggal bilang saja baik-baik ke orang tua.
Terima tamu pun sama. Kalau dipesani jangan terima tamu, ya jangan terima tamu.
Teman mau datang ya bilang aja,mohon maaf ya suami tidak di rumah, tadi sudah bilang kaya’nya nggak bisa deh kalau ketemuan hari ini, besok aja ya. Tinggal gitu aja. Nggak usah terlalu baper juga. Kadang yang ngundang baper itu kita juga sihh.
Memang sih untuk pelaksanaannya ga semudah yang dibicarakan. Artinya segala sesuatu yang Allah ingin jaga termasuk uang belanja harus dijaga.
Kalau suami yang urusin belanja, mah nggak ada tugas kita jagain uang belanja.
Itu kalau dia sudah tau, masak belanja, dan segala macam adalah kewajiban suami.
Dari anak laki-laki kita masih kecil kita wajib menanamkan figur laki-laki sebagai qowwam itu seperti apa.
Prinsipnya, sebenarnya kenapa laki-laki yang berkewajiban belanja, biar dia tau berapa kebutuhan kita sehari-harinya, dan suami bisa ngukur, dia harus cari berapa untuk kebutuhan kita itu.
Memang puyeng juga kalau misalnya suami kasi ya udah pokoknya itu, sebulan cuma itu. Cukup nggak cukup pokoknya itu. Karena faktanya kan banya istri yang dibegitukan sama suaminya. Bingung sendiri tuh istrinya pontang panting.
Kalau misalnya ada yang diamanahkan menjaga salah satunya keuangan rumah tangga, jangan dianggap lagi uang kita uang kita uang suami uang kita. nggak ada.
Dalam Islam tuh nggak gitu. Uang yang dikasi suami itu amanah.
"Bagi mereka apa yang mereka hasilkan dari jerih payahnya, bagi kamu perempuan juga apa yang kamu dapatkan dari jerih payah kamu."
Uang suami dari hasil jerih payahnya, itu uang suami. Yang dikasi ke kita itu baru jatah kita, selebihnya uang suami.
Yang tidak diberikan untuk kita, itu uang suami. Ya terserah suami mau diapain. Mau dikasi ke ibunya itu hak dia. Mau dikasi ke saudaranya itu hak dia. Apa yang dikasi ke kita baru itu hak kita.
Yang dikasi ke kita juga kadang-kadang bukan hanya untuk kita. Cuma amanah doank. Dikasi gitu satu amplop...abis itu jangan lupa kontrakan mi, listrik, air, uang sekolah anak, lah semuanya di situ. Udah persiapan sebulan, itu pokoknya anggaran belanja yang diamanahkan untuk ini itu ya bukan uang kita. Itu uang suami yang dititipkan ke kita yang harus kita salurkan sesuai dengan amanahnya.
Terus kalau kita minta dijatahin untuk kita boleh nggak? Boleh.
Bahkan dalam fiqihnya, kalau suami beli baju, wajib istrinya dibeliin baju. Suami beli sepatu 5 berjejer, istri dibeliin lah 5 bejejer, misalnya.
Pembantu dan segala macam itu kewajiban suami mendapat nafkah atas itu.
Kalau istrinya pendakwah yang dia ijinkan keluar rumah, itu dikasinya 2 pembantu. Pembantu di rumah untuk ngurusin rumah dan asisten pribadi kalau istri keluar.
Tapi kan kalau istri sholihah, nggak ngoyo begitu ya. Ya dilihat juga kemampuan suaminya. Artinya, ketika kita paham sebenarnya laki-laki itu besar tanggung jawabnya. Maka kita pun berusaha menjadi istri-istri yang sholihah. Biar kemudian bisa juga saling bersinergi.
Supaya suami bisa jadi suami yang kita inginkan, kitapun harus support suami biar bisa menjadi suami yang punya kriteria qowwam.
Itu poinnya. Bagaimana kemudian kita berusaha untuk saling memahami peran nya masing-masing.
Terakhir, ternyata di ayat yang di bawahnya ayat yang ke 35 itu disebutkan selain kriteria istri yang sholihah, ada istri yang tidak lagi sholihah. Tapi dia berkarakter suka membangkang. Kadang-kadang tanpa sadar, kita bisa masuk ke dalam golongan orang-orang yang membangkang. Tidak mau mentaati suami. Itu berat ya lebelnya.
Jadi sekali Allah perintahkan taat sama suami, tapi kita nggak mau taat, itu kita bisa jatuh pada karakter yang kedua, yaitu istri yang pembangkang. Banyak perempuan kaya’ gitu yang dengan dalih apapun menjadi pembangkang terhadap suaminya. Mungkin karena finansial lebih, mungkin karena ilmunya lebih, mungkin karena status sosialnya lebih, atau mungkin karena hak dasarnya tidak terpenuhi suami, dia kemudian naik tuh.
Jadi kalau kita membangkang selalu perhatiin deh pasti itu ego kita sedang naik. Kalau kita menempatkan diri kita di atas suami, jatuhnya pasti nanti ada pembangkangan terhadap suami. Merasa misalnya pendapat kita lebih bagus, lebih tinggi, naik tuh kita udah. Argumennya udah pedes misalnya ya. Maka mudah-mudahan jangan sampai kita terjerumus menjadi istri-istri yang kemudian tergolong pembangkang.
Terakhir, seorang lelaki adalah qowwam, pantaskan diri menjadi qowwam. Pasangannya adalah wanita sholehah. Bersinergilah untuk mencapai kriteria tersebut.
Catatan Diana Bhakti Siregar
Reff : Ustadzh Triyana