SEKOLAH BERBASIS POTENSI
Foto ist|| Koleksi Langit Juli.
Mendidik itu bagaikan membangun sebuah peradaban. Karena di dalamnya ada generasi-generasi yang dididik untuk kelak merekalah yang menjalankan kehidupan ini di masa yang akan datang.
Adanya corona ini menimbulkan pertanyaan, apa yang bisa kita lakukan untuk dunia pendidikan ketika harus mengalami ‘dirumahkan’ seperti ini?
Untuk sekolah-sekolah pada umumnya, ini mungkin berat. Dimana semua harus dirumah saja sementara program-program kurikulum begitu banyak yang belum tersampaikan. Meski ada fasilitas belajar online, namun tak semua mudah melakukannya. Terutama di sekolah-sekolah yang jauh dari kota. Jangankan fasilitas HP android, signal saja mungkin tak mudah didapat.
Sementara di sekolah-sekolah antimainstream, mungkin sudah mempersiapkan antisipasi ketika harus belajar di luar sekolah. Mungkin mereka sudah biasa dengan kemandirian dalam belajar. Boleh jadi ‘merdeka belajar’ seperti yang pak mentri katakan, sudah lama mereka jalankan. Contohnya di beberapa sekolah alam, dimana orang tua tidak terlalu kaget ketika harus terlibat dalam proses belajar siswa, karena dalam pemaparan lesson plan-nya pun melibatkan kehadiran orang tua.
Kalau berbicara tentang sekolah, maka yang terpikirkan olehku, sekolah harusnya tidak hanya menjadi tempat berkumpulnya anak-anak yang mau belajar dengan kurikulum yang sama di tiap sekolah dari pelosok desa sampai ke kota. Mereka mempelajari pelajaran yang sama, mengejar target yang sama, dan goals-nya juga harus sama dengan standar yang disamakan untuk setiap tempat sesuai dengan jenjang masing-masing.
Bukankah zamannya sudah zaman merdeka belajar? Dimana anak ikan sebaiknya belajar berenang, anak kuda belajar berlari kencang, anak tupai belajar memanjat dan melompat dari pohon satu ke pohon yang lain, sesuai passion masing-masing, sesuai potensi masing-masing.
Tak jarang sebuah sekolah yang mungkin punya banyak program bagus tapi terasa monoton, karena mungkin selama ini program hanya mengalir sesuai yang diwariskan para pendahulu saja. Atau mungkin dalam sejarahnya sekolah tersebut pernah menjadi sekolah favourit, sehingga sekolah tersebut berjalan dalam kenangan sejarah belaka.
Mumpung sedang bergulirnya Merdeka belajar, sebenarnya liburan sangat panjang ini bisa dimanfaatkan untuk merencanakan program unggulan yang boleh saja diambil dari program-program sebelumnya, tapi sudah dengan sentuhan baru. Dimatangkan kembali konsepnya, lalu dimodifikasi sehingga bisa kita ambil beberapa program itu menjadi 3 atau 5 program unggulan, misalnya.
Sebuah sekolah juga perlu punya benchmark. Seperti contoh mungkin benchmark-nya HIGHSCOPE adalah sekolah internasional. Nah kita bisa menentukan apa sih benchmark sekolah yang mau kita bangun atau kita perbaiki ini? Atau setidaknya mungkin ada sekolah rujukan, atau pembanding dari sekolah tersebut, sekolah yang mana? Atau kita melihat dari semua sekolah yang ada, jika ada sesuatu yang bagus dari sana, kita ambil dan dimodifikasi untuk diterapkan di sekolah kita. Itu juga baik. Atau mau yang original saja, membuat sesuatu yang berbeda dari yang lainnya.
Anggaplah kita sedang memperbaharui sistem suatu sekolah yang katakanlah keunggulannya sudah tinggal sejarah. Jargon sekolah itu apa? Brandingnya apa? Visinya apa? Goals-nya apa? Targetnya apa? Ini penting lho... Ini mementukan untuk merancang program-program yang nanti kita buat.
Terutama, apa goals dari suatu sekolah itu? Apa target yang dicapai setelah lulus dari sekolah itu? Mungkin akan menghasilkan para business man, atau mencetak para pemimpin, atau mencetak para hafidz, sekolah anak-anak olimpiade, dan banyak lagi contohnya. Kalau goalnya adalah mandiri, berarti mandiri itu adalah akhir dari lulus sekolah tersebut.
Tapi yang penting, apapun targetan suatu sekolah itu, ada target umum yang harus diperhatikan seperti target akhlak (yang menyangkut moral, adab), target leadership dan target bisnis. Ini penting di zaman now.
Untuk targetan akhlak, siswa dididik untuk mandiri secara spiritual. Untuk targetan leadership, siswa bertanggung jawab dengan dirinya dan orang lain. Untuk target bisnis bisa disesuaikan dengan usia. Untuk jenjang sekolah dasar, setidaknya anak mengenal mata uang dan mampu menggunakannya untuk bertransaksi, misalnya. Intinya, targetnya adalah mature dan mandiri.
Ini mengarah pada sekolah berbasis potensi. Bagaimana mengetahui potensi itu? Bisa dari eksplorasi, dari aktifitas dan dari semua hal yang ada pada diri seseorang.
Apa manfaat dari mengetahui potensi ini? Untuk menumbuhkan kesyukuran. Dengan mengetahui, memahami dan mengenal potensi, maka seseorang itu bisa bersyukur. Dan untuk mengaplikasikan rasa syukurnya, maka dia akan melakukan peran yang terbaik dalam kehidupannya.
Salah satu tools, metodologi, pendekatan untuk mengetahui potensi itu adalah dengan Talents Mapping (TM). TM itu sebenarnya mengenal kekuatan/potensi, memahami potensi, memahami diri. Dan basic dari TM adalah nature/alamiah, nature base. Ada 3 unsur penting didalamnya yaitu, tahu/paham, syukur, aplikasi/melaksanakan (peran). Karena TM ini adalah sebagai tools, , bukan merupakan kurikulum maka bisa masuk pada program-program apapun.
Kaitan TM ini dengan konsep pendidikan adalah bagaimana anak didik itu mengetahui fitrahnya. Fitrahnya dalam konsep pendidikan yang berfokus pada TM berdasarkan urutan bakat adalah, dia mempunyai potensi, dia mempunyai keunggulan, namun dia juga mempunya keterbatasan.
Jadi diharapkan tidak ada lagi sekolah yang hanya berfokus pada anak-anak yang dianggap berpotensi juara dan mengabaikan anak-anak yang dianggap terbatas potensinya. Sudah bukan zamannya lagi.
Lalu bagaimana mengaktifasi potensinya setelah potensi itu diketahui? Dengan pemahaman. Memahamkannya adalah dengan memberikan stimulus-stimulus melalui aktifitas. Sehingga dia dapat mensyukuri apa bakat yang dimilikinya dan dia bisa mempunya peran dalam hidupnya.
Dalam menjalankan fitrah kita sebagai manusia, kita harus memiliki ilmu, iman dan amal. Ini sebenarnya erat sekali hubungannya dengan TM. Ilmu, iman dan amal ini juga harus menjadi landasan kita dalam mendidik.
Dengan ilmu, seseorang mampu mengetahui dan memahami bahwa sesungguhnya manusia adalah ciptaan Allah SWT, manusia itu adalah hamba Allah SWT. Dengan ilmu, manusia akan tahu siapa dirinya. Tak mungkin seseorang itu bisa bertanggung jawab akan dirinya, tanpa ilmu.
Dengan ilmu, seseorang mengetahui apa yang menjadi potensi dirinya yang menjadi kesyukurannya karena ia beriman. Dan dengan adanya ilmu dan iman, maka kemandirian akan muncul, yang membuat seseorang mampu berperan untuk melakukan yang terbaik dalam aktifitasnya. Ia punya amal terbaik dan bermanfaat bagi orang lain.
Jadi, perlu dirancang sebuah program kegiatan berbasis potensi. Mungkin di awal belum terlihat potensi seorang siswa itu. Untuk itu bisa dilakukan observasi dengan suatu program yang di dalamnya terdapat banyak aktifitas. Setidaknya dari sekian banyak aktifitas-aktifitas itu, akan muncul 2 atau 3 aktifitas yang paling nyaman untuk dilakukan seorang siswa.
Misalkan ada sebuah program ‘my trip my adventure’. Apakah dengan program ini bertumbuh kesyukurannya? Apakah ketika MTMA ini siswa punya ilmu tentang kesiapannya untuk itu? Apakah tumbuh keimanan ketika siswa di perjalanan? Apakah dia mempunyai sebuah next plan? Rencana berikutnya supaya dirinya punya amal soleh ataupun peran dari hasil MTMA? Nah itu bisa dikaitkannya dengan ini TM.
Atau program-program lifeskill yang bisa dilakukan bersama keluarga atau di masyarakat, juga bisa dikaitkan dengan TM.
Jadi sekali lagi untuk membangun sebuah dunia pendidikan, katakanlah sebuah sekolah, kita tentukan dulu benchmark-nya, apakah dalam programnya atau dalam model sekolahnya. Ada misalnya sebuah sekolah alam yang benchmark-nya adalah K13 misalnya. K13 menjadi rujukan dan pembandingnya. Boleh saja mempunyai benchmark sendiri apakah dari modelnya, projectnya atau dari kurikulumnya. Bisa juga dari visi dan misi sekolah, lalu kita buat program yang mendukung itu. Dan aplikasinya, dalam aktifitasnya bisa menggunakan hasil TM.
Kalau dikaitkan dengan TM, maka di dalam suatu program itu harusnya ada 114 aktifitas produktif. Untuk anak yang sudah menjalani tes TM bisa dilihat strength clusternya. Kalau kegiatan itu berbasis aktifitas maka aktifitas itu sesuai dengaan potensinya, sesuai dengan produktifitasnya. Jadi nggak kemana-mana. Dapat dilihat di aktifitas produktif mana yang kita eksplor untuk masing-masing siswa. Kita lihat di aktifitas mana yang siswa sudah enjoy dan nyaman. Contohnya, jika seorang siswa enjoy translating (menterjemahkan). Berarti kalau salah satu aktifitas produktifnya mentranslate atau menterjemahkan, usahakan (misalnya) untuk salah satu bentuk aktifitasnya, destinasinya adalah rumah literasi, menterjemahkan buku-buku berbahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Untuk sisi enterpreneurship-nya, bentuk kegiatannya bisa siswa berdiskusi, belajar dari ownershipnya. Destinasi ini dikaitkan dengan aktifitas produktifnya. Bisa juga siswa mencari orang-orang enterpreter, yang bergerak di dalam aktifitas yang sama.
Dengan begitu, siswa nyaman, siswa bisa. Mau mentranslate novel bahasa Inggris yang belum ada di pasaran. Itu dia bisa. Sampai akhirnya dia punya (misalkan dalam konteks bisnis) keinginan untuk translater. Kan banyak di buku-buku terjemahan itu ditulis penerjemahnya siapa. Nah itu ketika TM dikaitkan dengan enterpreneurship.
Bagaimana jika tidak menggunakan tes TM? Tidak semua sekolah berkemampuan untuk memfasilitasi siswanya mengikuti tes tersebut. Kalaupun mampu, tetap ada batasan umur untuk mengikutinya. Untuk siswa di bawah 15 tahun kan belum akurat jika dilakukan tes TM, mengingat pengalaman beraktifitasnya juga belum begitu banyak. Namun kita tetap ingin agar siswa mempunya mental untuk menemukan sesuatu, kita tetap berkeinginan agar kurikulum dirancang berbasis potensi. Maka bisa dipakai 3 tahap. Pertama adalah dengan uji adab, ini terkait dengan mental, karakteristik, akhlak dan sebagainya, kenudian cari keminatannya, baru masuk ke jurusan.
Uji adab ini sebenarnya semua aktifitas yang suka nggak suka, semua perlu diuji. Misalnya dia nggak suka di kuliner, dia sukanya menulis (misalnya) tapi dia enterpreneurshipnya di kuliner. Bagaimana sopan santunnya terhadap orang, ini uji adab.
Kalau mau mencari keminatan, berartinya setelah siswa tahu potensinya. Lalu untuk jurusan, ini sudah menyangkut cita-cita, di sini siswa sudah menentukan apa sih nanti yang akan dia pilih kalau dia sudah mau cari kuliahan.
Dalam uji adab itu, termasuk di dalamnya mental bertemu orang, mewawancarai orang bagaimana sifat sopan santunnya, tata kramanya kalau bicara dengan orang yang lebih dewasa atau lebih tua dan sebagainya. Dan ujungnya adalah dia punya catatan sendiri untuk berikutnya menentukan project sendiri, dan project ini sesuai dengan apa yang menjadi stylenya. Dan begitu siswa selesai dari sekolah tersebut, siswa bisa mengatakan, saya mau melanjutkan ke sini, saya mau begini, saya mau begitu...karena program dari sekolah juga diawali dengan bagaimana siswa menemukan dirinya.
Sesuai dengan yang sudah disampaikan di atas tadi, target umum suatu sekolah itu hendaknya ada akhlaknya, ada bisnisnya ada leadershipnya.
Kembali ke TM. TM ini tadi basisnya adalah aktifitas, maka aktifitasnya harus :
• Aktifitas yang ENJOY bagi siswa
• Aktifitas yang EASY bagi siswa
• Aktifits yang bikin siswa EXCELLENT
• Aktifitas yang bikin siswa EARN
Tugas penanggung jawab program ketika siswa sudah melakukan sebuah program, adalah melakukan observasi untuk 4E-nya (ENJOY, EASY, EXCELLENT, EARN). “Kamu tadi melakukan sekian aktifitas ini apakah kamu ada yang enjoy dari semua itu, apa ada easy- nya....(berkaitan dengan 114 aktifitas itu). Dari hasil observasinya, bisa didapatkan gambaran sebenarnya anak ini bagaiman? Dia suka nggak? Dia enjoy nggak? Bagaimana kelihatannya? Excellent, atau Earn? Itu juga model yang bisa dilakukan.
ENJOY dan EASY ini penilaiannya dari diri sendiri. Kalau EXCELLENT dan EARN ini penilaiannya dari orang lain. ENJOY dan EASY itu nggak bisa dinilai orang lain. Misalnya ada seorang anak mengerjakan tugas dengan mukanya datar tapi dia melakukan sesuatu itu dengan segera selesai. Berarti sesuat itu baginya mudah (easy). EASY itu, jika seseorang bisa melakukan sesuatu itu dalam waktu yang sangat cepat.
Untuk melihat EXCELLENT-nya, contoh siswa mendapat tugas memasak. Ketika dieksplore ternyata memasak itu dia suka. Lalu menurut teman-temannya masakannya enak. Itu berarti dia sudah excellent.
EARN itu sebenarnya produktif, yang bukan hanya seseorang itu mampu menghasilkan materi. Jika seseorang itu sampai mampu mengajarkan pada orang lain itu juga termasuk EARN. Karena earn itu berarti produktif. Produktif itu artinya menghaasilkan. Menghasilkan itu bisa saja bukan dalam bentuk uang. Bisa juga dalam bentuk apresiasi. Misalkan tepuk tangan yang meriah. Tepatnya pengakuan dari orang lain. Uang itu kan juga pengakuan bahwa dia sudah berhasil menghasikan produk.
Jadi ada peran guru di sini. Biasanya anak SMA sudah bisa sampai EARN. Kalau SMP, sampai EXCELLENT saja sudah cukup. Untuk SD sampai EASY saja.
Jadi aktifitas yang dilakukan di program unggulan untuk semua jenjang itu, semua sudah melakukan 114 aktifitas. Bagaimana kita melihatnya, perlu kita gali di sana.
Nah, ketika menyusun program, bisa dilihat aktifitas apa yang sudah terwakili (dari 114 aktifitas itu), dalam program. Coba ditelaah lagi dari program unggulan tersebut, jangan-jangan lebih banyak berada di net working, atau jangan-jangan lebih banyak ada di technical, atau jangan-jangan lebih banyak di servising (melayani orang)...lalu kegiatan yang sifatnya berhubungan dengan orang lain dan mengendalikan, kontroling dan sebagainya, itu belum ada. Sehingga program leadershipnya sangat sedikit terwakili bahkan mungkin tidak. Berarti nanti aktifitas itu yang perlu direvisi. Aktifitas program-program kita sebaiknya mengacu pada 114 aktifitas. Ini jika TM sebagai tools. Jika belum bisa menggunakannya sebagai tools, setidaknya dari banyak aktifitas produktif yang ada di masyarakat, bisa kita masukkan ke dalam program kegiatan.
Memang agak ribet ketika observasinya itu satu per satu (jika belum menggunakan TM), maka sebaiknya kalau aktifitas awal-awal, diobservasi tidak terlalu banyak. Jadi kita bisa fokus. Kalau observasinya menyeluruh sampai 114 aktifitas produktif, pasti berat. Meski hasilnya bagus langsung mendapatkan pemetaan awal.
Sebenarnya dari 114 aktifitas itu walaupun nggak semua diobservasi setidaknya setiap anak itu ada 2 atau 3 aktifitas yang terlihat ‘dia banget’.
Intinya, kalau menggunakan TM, anak-anak dites dulu sehingga kita bisa punya gambaran. Lalu aktifitas mengacu pada strength cluster. Kalau tanpa TM, siswa diobservasi dulu dengan kegiatan walaupun siswa nggak tahu dia enjoy di kegiatan itu atau nggak, produktif atau nggak belum sampai ke situ.
Nah, jika program sekolah itu dirancang berbasis potensi, maka sekolah akan menjadi sesuatu yang menarik bagi anak didik. Sekolah tidak hanya menjadi tempat berkumpul dan melakukan rutinaitas harian yang itu ke itu saja, tapi sekolah menjadi tempat belajar untuk menjadi manusia-manusia yang bermanfaat di masa yang akan datang.
Bogor (di rumah aja) 03052020
Catatan Diana
Praktisi Talents Mapping dan Praktisi Pendidikan
Foto ist|| Koleksi Langit Juli.
Mendidik itu bagaikan membangun sebuah peradaban. Karena di dalamnya ada generasi-generasi yang dididik untuk kelak merekalah yang menjalankan kehidupan ini di masa yang akan datang.
Adanya corona ini menimbulkan pertanyaan, apa yang bisa kita lakukan untuk dunia pendidikan ketika harus mengalami ‘dirumahkan’ seperti ini?
Untuk sekolah-sekolah pada umumnya, ini mungkin berat. Dimana semua harus dirumah saja sementara program-program kurikulum begitu banyak yang belum tersampaikan. Meski ada fasilitas belajar online, namun tak semua mudah melakukannya. Terutama di sekolah-sekolah yang jauh dari kota. Jangankan fasilitas HP android, signal saja mungkin tak mudah didapat.
Sementara di sekolah-sekolah antimainstream, mungkin sudah mempersiapkan antisipasi ketika harus belajar di luar sekolah. Mungkin mereka sudah biasa dengan kemandirian dalam belajar. Boleh jadi ‘merdeka belajar’ seperti yang pak mentri katakan, sudah lama mereka jalankan. Contohnya di beberapa sekolah alam, dimana orang tua tidak terlalu kaget ketika harus terlibat dalam proses belajar siswa, karena dalam pemaparan lesson plan-nya pun melibatkan kehadiran orang tua.
Kalau berbicara tentang sekolah, maka yang terpikirkan olehku, sekolah harusnya tidak hanya menjadi tempat berkumpulnya anak-anak yang mau belajar dengan kurikulum yang sama di tiap sekolah dari pelosok desa sampai ke kota. Mereka mempelajari pelajaran yang sama, mengejar target yang sama, dan goals-nya juga harus sama dengan standar yang disamakan untuk setiap tempat sesuai dengan jenjang masing-masing.
Bukankah zamannya sudah zaman merdeka belajar? Dimana anak ikan sebaiknya belajar berenang, anak kuda belajar berlari kencang, anak tupai belajar memanjat dan melompat dari pohon satu ke pohon yang lain, sesuai passion masing-masing, sesuai potensi masing-masing.
Tak jarang sebuah sekolah yang mungkin punya banyak program bagus tapi terasa monoton, karena mungkin selama ini program hanya mengalir sesuai yang diwariskan para pendahulu saja. Atau mungkin dalam sejarahnya sekolah tersebut pernah menjadi sekolah favourit, sehingga sekolah tersebut berjalan dalam kenangan sejarah belaka.
Mumpung sedang bergulirnya Merdeka belajar, sebenarnya liburan sangat panjang ini bisa dimanfaatkan untuk merencanakan program unggulan yang boleh saja diambil dari program-program sebelumnya, tapi sudah dengan sentuhan baru. Dimatangkan kembali konsepnya, lalu dimodifikasi sehingga bisa kita ambil beberapa program itu menjadi 3 atau 5 program unggulan, misalnya.
Sebuah sekolah juga perlu punya benchmark. Seperti contoh mungkin benchmark-nya HIGHSCOPE adalah sekolah internasional. Nah kita bisa menentukan apa sih benchmark sekolah yang mau kita bangun atau kita perbaiki ini? Atau setidaknya mungkin ada sekolah rujukan, atau pembanding dari sekolah tersebut, sekolah yang mana? Atau kita melihat dari semua sekolah yang ada, jika ada sesuatu yang bagus dari sana, kita ambil dan dimodifikasi untuk diterapkan di sekolah kita. Itu juga baik. Atau mau yang original saja, membuat sesuatu yang berbeda dari yang lainnya.
Anggaplah kita sedang memperbaharui sistem suatu sekolah yang katakanlah keunggulannya sudah tinggal sejarah. Jargon sekolah itu apa? Brandingnya apa? Visinya apa? Goals-nya apa? Targetnya apa? Ini penting lho... Ini mementukan untuk merancang program-program yang nanti kita buat.
Terutama, apa goals dari suatu sekolah itu? Apa target yang dicapai setelah lulus dari sekolah itu? Mungkin akan menghasilkan para business man, atau mencetak para pemimpin, atau mencetak para hafidz, sekolah anak-anak olimpiade, dan banyak lagi contohnya. Kalau goalnya adalah mandiri, berarti mandiri itu adalah akhir dari lulus sekolah tersebut.
Tapi yang penting, apapun targetan suatu sekolah itu, ada target umum yang harus diperhatikan seperti target akhlak (yang menyangkut moral, adab), target leadership dan target bisnis. Ini penting di zaman now.
Untuk targetan akhlak, siswa dididik untuk mandiri secara spiritual. Untuk targetan leadership, siswa bertanggung jawab dengan dirinya dan orang lain. Untuk target bisnis bisa disesuaikan dengan usia. Untuk jenjang sekolah dasar, setidaknya anak mengenal mata uang dan mampu menggunakannya untuk bertransaksi, misalnya. Intinya, targetnya adalah mature dan mandiri.
Ini mengarah pada sekolah berbasis potensi. Bagaimana mengetahui potensi itu? Bisa dari eksplorasi, dari aktifitas dan dari semua hal yang ada pada diri seseorang.
Apa manfaat dari mengetahui potensi ini? Untuk menumbuhkan kesyukuran. Dengan mengetahui, memahami dan mengenal potensi, maka seseorang itu bisa bersyukur. Dan untuk mengaplikasikan rasa syukurnya, maka dia akan melakukan peran yang terbaik dalam kehidupannya.
Salah satu tools, metodologi, pendekatan untuk mengetahui potensi itu adalah dengan Talents Mapping (TM). TM itu sebenarnya mengenal kekuatan/potensi, memahami potensi, memahami diri. Dan basic dari TM adalah nature/alamiah, nature base. Ada 3 unsur penting didalamnya yaitu, tahu/paham, syukur, aplikasi/melaksanakan (peran). Karena TM ini adalah sebagai tools, , bukan merupakan kurikulum maka bisa masuk pada program-program apapun.
Kaitan TM ini dengan konsep pendidikan adalah bagaimana anak didik itu mengetahui fitrahnya. Fitrahnya dalam konsep pendidikan yang berfokus pada TM berdasarkan urutan bakat adalah, dia mempunyai potensi, dia mempunyai keunggulan, namun dia juga mempunya keterbatasan.
Jadi diharapkan tidak ada lagi sekolah yang hanya berfokus pada anak-anak yang dianggap berpotensi juara dan mengabaikan anak-anak yang dianggap terbatas potensinya. Sudah bukan zamannya lagi.
Lalu bagaimana mengaktifasi potensinya setelah potensi itu diketahui? Dengan pemahaman. Memahamkannya adalah dengan memberikan stimulus-stimulus melalui aktifitas. Sehingga dia dapat mensyukuri apa bakat yang dimilikinya dan dia bisa mempunya peran dalam hidupnya.
Dalam menjalankan fitrah kita sebagai manusia, kita harus memiliki ilmu, iman dan amal. Ini sebenarnya erat sekali hubungannya dengan TM. Ilmu, iman dan amal ini juga harus menjadi landasan kita dalam mendidik.
Dengan ilmu, seseorang mampu mengetahui dan memahami bahwa sesungguhnya manusia adalah ciptaan Allah SWT, manusia itu adalah hamba Allah SWT. Dengan ilmu, manusia akan tahu siapa dirinya. Tak mungkin seseorang itu bisa bertanggung jawab akan dirinya, tanpa ilmu.
Dengan ilmu, seseorang mengetahui apa yang menjadi potensi dirinya yang menjadi kesyukurannya karena ia beriman. Dan dengan adanya ilmu dan iman, maka kemandirian akan muncul, yang membuat seseorang mampu berperan untuk melakukan yang terbaik dalam aktifitasnya. Ia punya amal terbaik dan bermanfaat bagi orang lain.
Jadi, perlu dirancang sebuah program kegiatan berbasis potensi. Mungkin di awal belum terlihat potensi seorang siswa itu. Untuk itu bisa dilakukan observasi dengan suatu program yang di dalamnya terdapat banyak aktifitas. Setidaknya dari sekian banyak aktifitas-aktifitas itu, akan muncul 2 atau 3 aktifitas yang paling nyaman untuk dilakukan seorang siswa.
Misalkan ada sebuah program ‘my trip my adventure’. Apakah dengan program ini bertumbuh kesyukurannya? Apakah ketika MTMA ini siswa punya ilmu tentang kesiapannya untuk itu? Apakah tumbuh keimanan ketika siswa di perjalanan? Apakah dia mempunyai sebuah next plan? Rencana berikutnya supaya dirinya punya amal soleh ataupun peran dari hasil MTMA? Nah itu bisa dikaitkannya dengan ini TM.
Atau program-program lifeskill yang bisa dilakukan bersama keluarga atau di masyarakat, juga bisa dikaitkan dengan TM.
Jadi sekali lagi untuk membangun sebuah dunia pendidikan, katakanlah sebuah sekolah, kita tentukan dulu benchmark-nya, apakah dalam programnya atau dalam model sekolahnya. Ada misalnya sebuah sekolah alam yang benchmark-nya adalah K13 misalnya. K13 menjadi rujukan dan pembandingnya. Boleh saja mempunyai benchmark sendiri apakah dari modelnya, projectnya atau dari kurikulumnya. Bisa juga dari visi dan misi sekolah, lalu kita buat program yang mendukung itu. Dan aplikasinya, dalam aktifitasnya bisa menggunakan hasil TM.
Kalau dikaitkan dengan TM, maka di dalam suatu program itu harusnya ada 114 aktifitas produktif. Untuk anak yang sudah menjalani tes TM bisa dilihat strength clusternya. Kalau kegiatan itu berbasis aktifitas maka aktifitas itu sesuai dengaan potensinya, sesuai dengan produktifitasnya. Jadi nggak kemana-mana. Dapat dilihat di aktifitas produktif mana yang kita eksplor untuk masing-masing siswa. Kita lihat di aktifitas mana yang siswa sudah enjoy dan nyaman. Contohnya, jika seorang siswa enjoy translating (menterjemahkan). Berarti kalau salah satu aktifitas produktifnya mentranslate atau menterjemahkan, usahakan (misalnya) untuk salah satu bentuk aktifitasnya, destinasinya adalah rumah literasi, menterjemahkan buku-buku berbahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Untuk sisi enterpreneurship-nya, bentuk kegiatannya bisa siswa berdiskusi, belajar dari ownershipnya. Destinasi ini dikaitkan dengan aktifitas produktifnya. Bisa juga siswa mencari orang-orang enterpreter, yang bergerak di dalam aktifitas yang sama.
Dengan begitu, siswa nyaman, siswa bisa. Mau mentranslate novel bahasa Inggris yang belum ada di pasaran. Itu dia bisa. Sampai akhirnya dia punya (misalkan dalam konteks bisnis) keinginan untuk translater. Kan banyak di buku-buku terjemahan itu ditulis penerjemahnya siapa. Nah itu ketika TM dikaitkan dengan enterpreneurship.
Bagaimana jika tidak menggunakan tes TM? Tidak semua sekolah berkemampuan untuk memfasilitasi siswanya mengikuti tes tersebut. Kalaupun mampu, tetap ada batasan umur untuk mengikutinya. Untuk siswa di bawah 15 tahun kan belum akurat jika dilakukan tes TM, mengingat pengalaman beraktifitasnya juga belum begitu banyak. Namun kita tetap ingin agar siswa mempunya mental untuk menemukan sesuatu, kita tetap berkeinginan agar kurikulum dirancang berbasis potensi. Maka bisa dipakai 3 tahap. Pertama adalah dengan uji adab, ini terkait dengan mental, karakteristik, akhlak dan sebagainya, kenudian cari keminatannya, baru masuk ke jurusan.
Uji adab ini sebenarnya semua aktifitas yang suka nggak suka, semua perlu diuji. Misalnya dia nggak suka di kuliner, dia sukanya menulis (misalnya) tapi dia enterpreneurshipnya di kuliner. Bagaimana sopan santunnya terhadap orang, ini uji adab.
Kalau mau mencari keminatan, berartinya setelah siswa tahu potensinya. Lalu untuk jurusan, ini sudah menyangkut cita-cita, di sini siswa sudah menentukan apa sih nanti yang akan dia pilih kalau dia sudah mau cari kuliahan.
Dalam uji adab itu, termasuk di dalamnya mental bertemu orang, mewawancarai orang bagaimana sifat sopan santunnya, tata kramanya kalau bicara dengan orang yang lebih dewasa atau lebih tua dan sebagainya. Dan ujungnya adalah dia punya catatan sendiri untuk berikutnya menentukan project sendiri, dan project ini sesuai dengan apa yang menjadi stylenya. Dan begitu siswa selesai dari sekolah tersebut, siswa bisa mengatakan, saya mau melanjutkan ke sini, saya mau begini, saya mau begitu...karena program dari sekolah juga diawali dengan bagaimana siswa menemukan dirinya.
Sesuai dengan yang sudah disampaikan di atas tadi, target umum suatu sekolah itu hendaknya ada akhlaknya, ada bisnisnya ada leadershipnya.
Kembali ke TM. TM ini tadi basisnya adalah aktifitas, maka aktifitasnya harus :
• Aktifitas yang ENJOY bagi siswa
• Aktifitas yang EASY bagi siswa
• Aktifits yang bikin siswa EXCELLENT
• Aktifitas yang bikin siswa EARN
Tugas penanggung jawab program ketika siswa sudah melakukan sebuah program, adalah melakukan observasi untuk 4E-nya (ENJOY, EASY, EXCELLENT, EARN). “Kamu tadi melakukan sekian aktifitas ini apakah kamu ada yang enjoy dari semua itu, apa ada easy- nya....(berkaitan dengan 114 aktifitas itu). Dari hasil observasinya, bisa didapatkan gambaran sebenarnya anak ini bagaiman? Dia suka nggak? Dia enjoy nggak? Bagaimana kelihatannya? Excellent, atau Earn? Itu juga model yang bisa dilakukan.
ENJOY dan EASY ini penilaiannya dari diri sendiri. Kalau EXCELLENT dan EARN ini penilaiannya dari orang lain. ENJOY dan EASY itu nggak bisa dinilai orang lain. Misalnya ada seorang anak mengerjakan tugas dengan mukanya datar tapi dia melakukan sesuatu itu dengan segera selesai. Berarti sesuat itu baginya mudah (easy). EASY itu, jika seseorang bisa melakukan sesuatu itu dalam waktu yang sangat cepat.
Untuk melihat EXCELLENT-nya, contoh siswa mendapat tugas memasak. Ketika dieksplore ternyata memasak itu dia suka. Lalu menurut teman-temannya masakannya enak. Itu berarti dia sudah excellent.
EARN itu sebenarnya produktif, yang bukan hanya seseorang itu mampu menghasilkan materi. Jika seseorang itu sampai mampu mengajarkan pada orang lain itu juga termasuk EARN. Karena earn itu berarti produktif. Produktif itu artinya menghaasilkan. Menghasilkan itu bisa saja bukan dalam bentuk uang. Bisa juga dalam bentuk apresiasi. Misalkan tepuk tangan yang meriah. Tepatnya pengakuan dari orang lain. Uang itu kan juga pengakuan bahwa dia sudah berhasil menghasikan produk.
Jadi ada peran guru di sini. Biasanya anak SMA sudah bisa sampai EARN. Kalau SMP, sampai EXCELLENT saja sudah cukup. Untuk SD sampai EASY saja.
Jadi aktifitas yang dilakukan di program unggulan untuk semua jenjang itu, semua sudah melakukan 114 aktifitas. Bagaimana kita melihatnya, perlu kita gali di sana.
Nah, ketika menyusun program, bisa dilihat aktifitas apa yang sudah terwakili (dari 114 aktifitas itu), dalam program. Coba ditelaah lagi dari program unggulan tersebut, jangan-jangan lebih banyak berada di net working, atau jangan-jangan lebih banyak ada di technical, atau jangan-jangan lebih banyak di servising (melayani orang)...lalu kegiatan yang sifatnya berhubungan dengan orang lain dan mengendalikan, kontroling dan sebagainya, itu belum ada. Sehingga program leadershipnya sangat sedikit terwakili bahkan mungkin tidak. Berarti nanti aktifitas itu yang perlu direvisi. Aktifitas program-program kita sebaiknya mengacu pada 114 aktifitas. Ini jika TM sebagai tools. Jika belum bisa menggunakannya sebagai tools, setidaknya dari banyak aktifitas produktif yang ada di masyarakat, bisa kita masukkan ke dalam program kegiatan.
Memang agak ribet ketika observasinya itu satu per satu (jika belum menggunakan TM), maka sebaiknya kalau aktifitas awal-awal, diobservasi tidak terlalu banyak. Jadi kita bisa fokus. Kalau observasinya menyeluruh sampai 114 aktifitas produktif, pasti berat. Meski hasilnya bagus langsung mendapatkan pemetaan awal.
Sebenarnya dari 114 aktifitas itu walaupun nggak semua diobservasi setidaknya setiap anak itu ada 2 atau 3 aktifitas yang terlihat ‘dia banget’.
Intinya, kalau menggunakan TM, anak-anak dites dulu sehingga kita bisa punya gambaran. Lalu aktifitas mengacu pada strength cluster. Kalau tanpa TM, siswa diobservasi dulu dengan kegiatan walaupun siswa nggak tahu dia enjoy di kegiatan itu atau nggak, produktif atau nggak belum sampai ke situ.
Nah, jika program sekolah itu dirancang berbasis potensi, maka sekolah akan menjadi sesuatu yang menarik bagi anak didik. Sekolah tidak hanya menjadi tempat berkumpul dan melakukan rutinaitas harian yang itu ke itu saja, tapi sekolah menjadi tempat belajar untuk menjadi manusia-manusia yang bermanfaat di masa yang akan datang.
Bogor (di rumah aja) 03052020
Catatan Diana
Praktisi Talents Mapping dan Praktisi Pendidikan