Pembinaan Usia Dini, Bukan Sekedar Asal Main Saja
SSB USU 2018. Foto WOL
Sepakbola adalah bahasa universal dan semua pihak akan sangat mahfum bahwa sepakbola akan menyatukan semua rasa dan bahasa menjadi satu perasaan yang sama. Ada banyak seni dan drama yang berlangsung selama pertandingan 2 x 45 menit. Dan itu semua kita sepakat, sepakbola menyatukan kita.
Untuk membangun sebuah tim sepakbola yang tangguh tentu tidak semudah yang digambarkan. Sekedar punya pemain dan kemudian dibiarkan bermain. Namun lebih dari itu adalah bagaimana membangun dari sejak dini hingga kemudian menjadi sebuah tim yang tangguh. Dan sampai hari ini, Indonesia belum mampu membangun sebuah tim nasional yang tangguh dan memberikan prestasi yang membangkan. Apa yang salah?
Mindset
Semuanya dimulai dengan mengubah pola pikir kita masing-masing untuk membangun sepak bola Indonesia, khususnya di pembinaan usia dini. Jelas terlihat bahwa kita semua masih harus bekerja keras dalam membangun sepak bola nasional, terlebih masalah mindset ini pun nampaknya masih saling berbenturan dalam tubuh PSSI selaku penggerak roda sepak bola negeri ini.
Hasil pertandingan tentunya bukan menjadi sebuah masalah. SSB USU konsisten bermain sepakbola sesuai usianya di setiap pertandingan. Saya pribadi sangat mengapresiasi hasil kerja mereka. Hanya saja,saat menyaksikan pertandingan final kejuaraan sepakbola PSSBU di Lapangan Tandem, saya jadi teringat masa masa kecil ketika selesai bermain kemudian menang taruhan kalau menang dapat uang Rp 25. Saat itu kita main di waktu normal dan kalau sudah sampai waktu Magrib dan hasilnya masih 0-0 kita akan melanjutkan pertandingan dengan adu tendatangan pinalti. Tetapi kalau masih mencukupi waktunya maka kita akan main perpanjangan waktu.
Namun alangkah miris hati saya, setelah menyaksikan babak final PSSBU, langsung adu pinalti tanpa melalui perpanjangan waktu. Mengarrange waktu memang selalu jadi masalah untuk panitia turnamen SSB karena peserta banyak dan waktu cuma 1 hari, niat kita sangat baik mau menghasilkan pesepakbola aset bangsa di kemudian hari.
Tetapi hal-hal ajaib dan unik selalu saja terjadi. Yang kita takutkan adalah jangan sampai hal hal seperti sepakbola gajah - wasit salah arti tentang arti pengadil. Waktu main bola hanya 2 x 7,5 menit untuk U-15 seperti main alip berondok ataupun patok lele. Seolah-olah itu bagian normal dari sebuah sepakbola, begitu lah nanti dipikir anak anak kita.
Tetapi hal-hal ajaib dan unik selalu saja terjadi. Yang kita takutkan adalah jangan sampai hal hal seperti sepakbola gajah - wasit salah arti tentang arti pengadil. Waktu main bola hanya 2 x 7,5 menit untuk U-15 seperti main alip berondok ataupun patok lele. Seolah-olah itu bagian normal dari sebuah sepakbola, begitu lah nanti dipikir anak anak kita.
Yang paling saya apresiasi sekali dalam 2 hari ini saya ikuti mereka adalah : ketika bermain tak sekalipun keluar teriakan “ wasiiiittt “ dari mulut mereka. Mereka bermain layaknya mirip SSB di Eropa sana, tidak pernah menyalahkan wasit - atau lapang licin tak rata - atau lawan bermain kasar kalaupun memang kasar atau alasan alasan cengeng lain. Yang agak dikeluhkan anak-anak melalui kapten mereka di rumah hanyalah : kok masih bisa terjadi kecurangan pencurian umur untuk mencapai kemenangan ? Karena sesama mereka sebenarnya saling kenal jadi tahu umur temannya berapa.
Secara pribadi saya sangat terhibur melihat anak anak junior bermain, dan sebenarnya kita harus jujur bahwa kesempatan kita mendunia atau mengasia melalui sepakbola hanyalah ketika usia junior, saat semua besar badan dan kemampuan sama. Begitu masuk usia di atas 21, seolah-olah kesempatan menjadi pemenang sepakbola di tingkat ASEAN saja pun kita tak mampu.
Lihat Singapura , negara sebesar Pulau Simeulue, sudah 3 kali juara Piala AFC sementara kita belum pernah bawa piala itu ke Indonesia. Jadi, bukan pesimistis dan bukan putus asa, rasa rasa nya negara kita untuk senior sampai saat ini masih harus berada dalam suasana sebuah nyanyian yang dipopulerkan Anggun C Sasmi , dengan judul ... “ Mimpi “...
Bagaimana tidak dikatakan mimpi. Masak anak-anak sejak dini kita ajarkan bermain hanya 2 x 7 menit plus langsung adu tendangan pinalti. Sementara dalam kejuaraan tarkam saja mainnya 2 x 45. Asumsinya, anak-anak akan mencari di mesin google dan harus kita sadar hal-hal kecil inilah yang kemudian berpengaruh di bawah alam sadar mereka. Anak-anak kemudian mengambil langkah instan dengan mempersiapkan diri di ukuran waktu pendek bukan untuk ukuran permainan dengan durasi waktu hingga 2 jam.
Para oknum tentu juga sejak dini sudah membangunkan bawah alam sadar anak-anak untuk selalu "bermain' pemalsuan identitas, "menghancurkan karir" pemain muda potensial dengan coba bermain di belakang yakni mengalahkan pemain potensial tadi bukan karena ketidakmampuan teknis melainkan kalah oleh permainan non teknis. Padahal pemain yang sebenarnya tidak lolos karena ketidakmampuan teknikal tetapi malah bisa bermain hanya karena ada permainan non teknis yang membuatnya bisa bermain.
SSB Dispora Sumut. Foto Tribun Medan 2016.
Hal krusial
Regenerasi merupakan hal yang selalu dianggap krusial di dalam sepakbola. Banyak insan sepakbola berbicara mengenai pembinaan usia dini tanpa tahu bagaimana mencapainya dengan cara yang efektif dan riil.
Semakin maju sepakbola suatu negara, semakin maju pula cara pandang mereka mengenai regenerasi. Negara-negara tradisi kuat di sepakbola seperti Brasil, Argentina, Belanda, Perancis, Jerman, Spanyol, Inggris, dan Italia tidak pernah kehabisan sumber daya pemain karena adanya regenerasi yang berjalan dengan baik.
Di Indonesia memang banyak sekolah sepakbola (SSB), tetapi semuanya tidak memiliki standar dan beberapa di antaranya terkesan hanya untuk mencari duit. Kompetisi usia dini, seperti Piala Soeratin U-15 pun dalam beberapa tahun terakhir sempat vakum karena persoalan internal dan tidak berkesinambungan dengan level berikutnya hingga senior, Jika kita melihat kesuksesan timnas U-19 asuhan Indra Sjafrie yang berhasil menjuarai AFF 2013 dan lolos ke Piala Asia U-19, saya rasa itu murni karena taktik dan hasil pantauan Indra Sjafrie secara langsung dalam memilih pemain, bukan dari hasil pembinaan berjenjang.
Masih lumayan lah pola rekruitmen seperti Indra Sjafrie, dibandingkan ada pula pola nya adalah sangkin inginnya menjadi juara, direkrut lah pemain pemain pemain dari daerah lain yang tak dikenal tetapi menjanjikan kemenangan, sehingga dalam tim tersebut ketika ditanya pemain orisinal nya bahkan baru kenal atau bahkan tak kenal teman satu tim nya yang baru bergabung ketika turnamen dimulai, naufzubillah min zalik.
Mau Dibawa Kemana
Ada yang menarik dari Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) membeberkan program kerja yang akan dilaksanakan dan direalisasikan pada tahun ini. Salah satu programnya adalah pembinaan sepakbola usia dini.
PSSI memang mengaku serius membenahi persepakbolaan di bawah kepemimpinan Ketua Umum Edy Rahmayadi. Setelah mendapat lampu hijau dari pemerintah dan AFC, beberapa program akan segera dikerjakan.
Programnya akan diputar tiga kelompok usia: U-17, Suratin, dan U15. Karena U-15 untuk PSSI sendiri adalah yang pertama kali setelah beberapa tahun terakhir vakum. PSSI ingin menciptakan banding satu rangkaian U-15 dan U-17 dengan sebuah kompetisi yang panjang.
PSSI memulai dari tingkat kabupaten, yaitu dari Asosiasi Kabupaten (Askab) berlanjut ke Asosiasi Provinsi (Asprov), hingga terakhir ke tingkat nasional. Artinya, akan dimulai pada awal Maret hingga September untuk pengurus di kabupaten menyelesaikan kompetisi di regional mereka dan putaran nasionalnya di Oktober dan November.Dan modelnya bukan lagi turnamen, tapi liga karena di masing-masing daerah tingkat dua (kabupaten maupun kota) mereka akan terlebih dahulu menggelar kompetisi format liga dan mereka akan bermain setiap minggu dan PSSI akan buat minimum jumlah pertandingannya harus mereka penuhi untuk sampai bertanding ke level nasional.
Minimum pertandingannya 14 hingga 18 pertandingan artinya setiap pekan pemain pemain muda akan bertanding secara reguler. Itu tentu bagus untuk maintenance fisik, skill, mental dibandingkan dengan turnamen karena turnamen bersifat pendek dan PSSI tidak bisa uji, dan mereka juga tidak exercise, disiplin, skill, dan perkembangannya karena ujungnya pada Juli pada 2017 akan ada piala AFF U-15.
Hal-hal seperti inilah yang sudah seharusnya dibangun PSSI bukan sekedar memamerkan program semata. Karena dengan pembuatan yang program yang jelas dan nyata, anak-anak usia dini akan dengan sendirinya memiliki kesempatan berlatih, berlatih dan berkompetisi yang benar dan bukan asal-asalan.
Kita harus sadar, masih banyak benturan, seperti talent scouting di PSSI, akankah ditemuikan talent scouting sekelas Indra Syafrie. Belum lagi ada oknum talent scouting yang menjadikan ajang cari makan.
Perlu kita maklumi juga mengapa lebih sulit di daerah itu untuk sepak bola di usia dini, karena demografi kita sangat luas jadi tidak bisa tersentuh hingga ke pelosok. Itu yang menjadi tantangan tersendiri . Apakah anak-anak SSB USU mampu bertanding hingga ke pelosok Dairi sana tentunya harus menjadi pertimbangan serius.
Sumut memiliki 33 kabupaten/kota dengan berbagai bentuk demografi yang berbeda. Belum lagi kondisi infrastruktur jalan antar daerah yang belum sepenuhnya baik. Kalau dihitung dengan waktu tempuh tentunya akan membuat kondisi fisik terkuras. Formulanya adalah bagaimana semua potensi lokal didapat dengan baik. Nama-nama seperti Mahyadi Panggabean yang besar di PSTT Tapteng tentunya bisa kita dapat kalau model pembinaannya benar-benar bukan sekedar comot.
Kalau kurikulum pembinaan usia dini dibangun dengan baik dan disebarkan hingga ke pelosok, 5 tahun mendatang kita akan menemukan yang namanya pemain-pemain dengan talenta dan atitude yang baik dan membawa nama harum Indonesia di mata dunia. Satu hari kelak nyanyian Indonesia Raya akan berkumandang di Piala Dunia.####
Muhammad Zeinizen
*Humas PS Keluarga USU